Kamis, 25 Desember 2014

Jari Menari dalam Rangkaian Skripsi (Ciyee :D)

Sudah tidak ada beban kuliah kan? Kecuali mata kuliah skripsi dan sidang. Berbicara soal skripsi pada mahasiswa tingkat 4 atau selebihnya, merupakan hal yang sensitif (bagi seperempat kelompok orang). Karena berbagai excuselah. 
Skripsi tidak sulit. Ia hanya karya tulis yang merupakan buah dari pemikiran dan usaha penulis. Bukan riset kenegaraan yang bergantung keselamatan ratusan ribu nyawa di dalamnya. Skripsi tidak semenyeramkan itu. Skripsi ibarat sapi. Besar dan tidak mungkin kita gendong sapi. Sapi yang besar itu kalau disembelih akan terbagi dalam beberapa potongan besar bagian tubuhnya, kepala, paha kanan depan-belakang, paha kiri depan-belakang, dan dada. potongan besar tadi kemudian dipotong-potong lagi menjadi beberapa potongan lebih kecil hingga kahirnya tersajilah sepotong dendeng dan rendang beserta nasi hanyat dalam piring. Itu yang dalam piring adalah sapi, tapi yang sudah diolah hingga menjadi irisan tipis, bukan seekor sapi dalam piring.
begitu juga dengan skripsi. Skripsi yang tebal itu hanya terdiri dari kumpulan kertas. Pada umumnya skrispi itu hanya kumpulan beberapa chapter, dan chapter itu terkumpul dari beberapa halaman. Jika semua chapter disatukan, maka jadilah sebundel skripsi yang tebal.
Menulis skripsi itu asli sangat menyenangkan. Skripsi itu kalau diabaikan malah semakin menyeramkan, tapi jika digauli, membuat kita tergila-gila. Kemanapun kaki ini melangkah, rasanya berat kalau tak sambil berprogres skripsi, kemanapun raga ini pergi, rasanya tangan ini ingin terus menari mengetik huruf demi huruf menjadi untaian skripsi. Hehe. Yah kiranya begitulah manisnya bikin skripsi. Mau tidak mau, skripsi itu harus dikerjakan. Ditunda malah memperparah keadaan dan beban psikologis, percaya atau tidak yah tergantung. Mengutip kata Pak Mentri Dikbuddasmen: Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. :) (ikp).
Marry Christmas dan Marry X-Mas

Banyak kelompok dan para pemikir yang berdebat soal boleh tidaknya mengucapkan 'selamat natal' pada umat kristiani, bahkan ada yang menjustifikasi haram untuk mengcapkan 'selamat natal'. 
pada dasarnya setiap peresepsi yang berbeda tersebut didasarkan pada kehati-hatian terhadap aqidah kita sebagai seorang muslim. Bukan untuk memperlihatkan seberapa jauh ilmu yang dimiliki atau bermaksud menunjukan kedangkalan berpikir orang lain. Saya telah mengkaji beberapa pendapat dan pemikiran fuqaha dari berbagai sumber tentang ucapan 'selamat natal' ini. Begini kurang lebih.
Hari natal dalam bahasa Inggris disebur dengan Chrismas. Sedangkan untuk perayaannya disebut dengan Merry. Merry Chrismas berarti perayaan natal dengan sukacita. Dalam hal ini tidak ada unsur mendoakan sama sekali kepada umat yang sedang menjalanan natal. Apabila ucapan yang diberikan adalah "Selamat Natal", maka saya rasa inilah yang harus dihindari, karena berarti dalam dua kata tersebut mengandung makna bahwa kita mendoakan keselamatan bagi kaum non-muslim. Padahal sudah jelas bahwa salam hanya kita tujukan pada sesama muslim. Ucapan yang lebih aman untuk kita berikan pada teman, kerabat, atau pimpinan bahkan bawahan yang non-muslim saat natal adalah "Merry Chirsmas", yang berarti sukacita natal dan serarus persen tidak ada unsur mendoakan siapa-siapa.
Bahkan umat nasrani berdarah arab, seperti yang tersebar di negara Lebanon, Mesir, dsb., mengucapkan "Ied Sa'id" pada saat natal, yang artinya "Hari raya yang berbahagia".
Adapun istilah Merry X-Mas, lebih aman diucapkan oleh muslim, namun dalam pandangan kaum nasrani itu perlu dikoreksi. Merry X-Mas menunjukan sesuatu yang belum pasti, karena mengandung huruf X di dalam kalimatnya. X seringkali ditujukan untuk sesuatu yang masih misterius atau belum jelas (Mr. X, faktor X, dalam matematika X merupakan nilai yang belum ada dan harus dicari). Oleh sebab itu Merry X-Mas juga dapat diungkapkan dalam rangka toleransi antar umat beragama, karena maknanya tidak ditujukan pada siapa-siapa alias X.
Bhineka itu fakta, bukan masalah. Apa susahnya toleran? Selama tau area aqidah. :)     (ikp)

Sabtu, 05 Juli 2014

Kenapa Menjadi Pendidik?



gambar: Adegan film Laskar Pelangi

Hampir tiga tahun sudah saya menempuh kuliah di kampus pendidikan Universitas Pendidikan Indonseia dengan mengambil fokus di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Apa yang saya saat ini sedang tempuh sesuai dengan cita-cita yang ingin diraih yaitu menjadi seorang Guru atau pendidik bagi anak-anak bangsa Indonesia.
Cita-cita menjadi seorang pendidik sebetulnya bukanlah cita-cita pertama saya. Sudah beberapa kali saya melakukan revisi cita-cita. Dari mulai cita-cita menjadi atlet, wartawan, arsitek, pengacara, birokrat, sampai akhirnya memantapkan hati menetapkan profesi pendidik sebagai cita-cita yang ingin dicapai. ada suatu moment yang sangat penting saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas yaitu saat saya sebagai seorang remaja gundah melihat realitas masalah kebangsaan yang dari waktu ke waktu semakin kompleks. Menjadi sebuah keanehan ketika bangsa yang mempunyai potensi sedemikian besar terasa sulit sekali maju atau bahkan terasa berjalan mundur. Di sinilah kemudian kesadaran diri saya sebagai salah seorang generasi penerus bangsa merasa harus berbuat sesuatu untuk memberi kontribusi memperbaiki kondisi bangsa Indonesia.  
Moment itulah yang kemudian menjadi titik tolak kenapa saya akhirnya ingin menjadi pendidik. Karena saya merasa pendidikan adalah titik kunci dari kompleksitas permasalahan bangsa. Jika kualitas pendidikan Indonesia baik, maka secara otomatis akan lahir generasi penerus bangsa yang memiliki karakter pejuang kepentingan agama, nusa, dan bangsa. Kompleksitas permasalahan bangsa akan bisa diselesaikan jika kita mampu “mencetak” anak-anak bangsa yang memiliki akhlak mulia seperti jujur, cerdas, bertanggungjawab, tangguh dan memiliki jiwa patriotisme tinggi. Anak-anak itu di kemudian hari akan terdistribusi dengan sendirinya di berbagai lini kehidupan seperti bidang politik, ekonomi, hukum, keamanan, sosial, seni budaya, dan di bidang pendidikan itu sendiri.  Dengan bekal tempaan yang baik saat anak-anak itu memperoleh pendidikan maka mereka dapat menjadi agent of change untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di setiap bidang tersebut sehingga berdampak pada kemajuan bangsa Indonesia.
Di kemudian hari saat awal-awal menjadi mahasiswa tekad saya semakin bulat ketika menghadiri acara kuliah umum dengan penceramah Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Anies Baswedan membuka mindset saya tentang apa yang disebut kekayaan terbesar bangsa Indonesia. Sebelumnya dari SD sampai SMA saya dicekoki doktrin kuat bahwa Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak, emas, batu bara, tembaga dan lain sebagainya. Tetapi Anies Baswedan menyampaikan sesuatu yang –bagi saya—betul-betul baru dan memang mencerahkan. Beliau berkata bahwa kekayaan terbesar bangsa Indonesia ialah terletak pada sumber daya manusianya. Jika sumber daya manusia Indonesia yang sedemikian banyak tersebut memiliki kualitas mumpuni maka negara ini akan mampu bangkit menjadi negara yang lebih maju.
Bagi saya apa yang disampaikan Anies Baswedan menjadi semacam reinforcement tentang kegundahan saya akan permasalahan bangsa. Di suatu sisi sumber daya manusia Indonesia adalah kekayaan, tetapi di sisi lain kekayaan itu menjadi sebuah masalah tersendiri bilamana belum bisa diberdayakan secara optimal. Dan itulah realita yang memang terjadi. saat ini sumber daya manusia Indonesia baru kaya secara kuantitas, tetapi belum kaya secara kualitas. Namun saya optimis, manusia Indonesia memiliki potensi besar untuk terus mengembangkan kompetensinya agar mampu bersaing di era globalisasi saat ini. Buktinya adalah hampir setiap tahun delegasi-delegasi Indonesia mampu meraih hasil cemerlang dalam ajang olimpiade sains tingkat internasional dengan menyisihkan delegasi-delegasi dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan China. Artinya, manusia Indonesia memang punya potensi besar untuk bersaing di kancah global jika kualitasnya ditempa dengna baik dari sejak dini.
Karena berbagai hal itulah saya memantapkan niat untuk menjadi seorang pendidik. Saya ingin ikut ambil peran dalam memperbaiki realita bangsa Indonesia dan dunia dengan menjadi pendidik yang baik, yaitu pendidik yang memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial disertai ketulusan untuk mengabdikan diri.
 Ikhtiar untuk menjadi pendidik yang baik itu sedang saya jalani hari ini. Saya terus menimba ilmu dan menempa diri dengan berbagai dinamika pengalaman kehidupan. Walaupun tidak dapat dipungkiri tantangan kehidupan hari ini sangatlah berat. Di era dimana corak kehidupan semakin materialistis dan pragmatis ini saya berupaya sekuat tenaga untuk mempersiapkan diri menjadi seorang pendidik yang baik. Sehingga tujuan hidup mencari ridho Allah Swt dengan salah satu caranya menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya bisa tercapai. Aamiinn