Oleh: Mohamad
Rian Ari Sandi
Rabu
malam tanggal 20 Februari kemarin ketika saya bersama om sedang menyimak debat
kandidat Pilgub Jabar 2013 yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi
swasta nasional, adik sepupu saya atau anak om bernama Dzikri tiba-tiba datang
menghampiri ayahnya. Kemudian om saya iseng bertanya kepada Dzikri, “De pilih
nomor berapa?”, spontan Dzikri menjawab “Aku mah pilih nomor empat”. Saya hanya tersenyum dan awalnya sedikit
heran, namun ketika saya mengingat kembali tampaknya jawaban Dzikri tidak
terlalu mengherankan, karena lingkungan rumah om saya tersebut merupakan basis
massa kandidat kancing merah.
Ternyata percakapan ayah dan anak ini
masih berlanjut, “Kenapa de milih nomor empat?” lanjut om saya, “ah pokonya aku mah pengen nomor empat”, kira-kira seperti itulah Dzikri menimpali
(saya kurang ingat kalimat persisnya seperti apa), saya kembali tersenyum
mendengar jawaban anak yang sebulan lagi akan berusia tujuh tahun tersebut.
Keheranan sekaligus keterkejutan saya tidak selesai sampai disitu, ketika om
saya mencoba merubuhkan pilihan Dzikri agar beralih memilih kandidat lain,
Dzikri tetap bergeming dengan pilihannya. Klimaks keheranan dan keterkejutan
saya sampai pada ketika Dzikri justru balik bertanya pada ayahnya, “kalo papah
pilih nomor berapa?”, dengan nada bercanda om saya menjawab “aku mah pilih nomor 7”, sontak Dzikri pun
protes “apa da ngga ada nomor tujuh”, lalu saya ikut nimbrung dan coba mengetes Dzikri, “Emang semuanya ada berapa gitu
de?”, meskipun sedikit ragu Dzikri menjawab “Cuman sampai lima kan a?”. Saya mengiyakan dalam hati, kembali
tersenyum, heran sekaligus bangga pada pengamat politik cilik kelas satu SD
tersebut.
Apa hikmah yang bisa kita ambil dari
percakapan antara tiga orang yang dilahirkan di tiga zaman berbeda tersebut?
Kampanye salah satu kandidat kah?
Sama sekali bukan. Karena kalau harus
jujur, sampai detik ini, saya masih belum mempunyai pilihan yang pasti,
meskipun sudah mengerucut ke dua pasangan calon. Melalui tulisan ini saya
sebetulnya hanya ingin menggugah kesadaran masyarakat Jawa Barat yang sudah
terdaftar sebagai pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya
pada hari H pencoblosan tanggal 24 Februari 2013 lusa.
Mereka yang sampai saat ini acuh tak
acuh terhadap proses pilgub 2013 dan juga sudah berniat untuk golput harusnya
malu kepada Dzikri Nawawi Wijaya Kusuma, anak berusia 7 tahun kelas satu SD.
Walaupun sebetulnya belum punya hak pilih dan belum saatnya untuk ikut
berpartisipasi dalam proses pemilihan calon pemimpin, Dzikri secara tidak ia
sadari sudah ikut mengamati dan menentukan pilihan siapa yang ia inginkan untuk
memimpin Jawa Barat untuk periode 2013-2018. Padahal di detik ini saya yakin,
masih banyak orang yang belum tahu ada berapa pasangan calon yang “mentas” di
pilgub Jabar 2013 ini, karena sikap acuh tak acuhnya terhadap proses pilgub, eleh ku de dzikri!
Maka dari itulah, kepada seluruh
pemilih di Jawa Barat, bagi yang sudah punya pilihan, mantapkan pilihannya dan
doakan pilihannya tersebut agar menjadi pemimpin yang amanah jika nanti
terpilih. Bagi yang belum punya pilihan tapi sudah berniat untuk memilih
seperti saya, teruslah berdoa memohon kepada Allah swt, Sang pemilik bumi dan
langit, agar diberikan petunjuk siapakah yang layak untuk kita amanahkan Jawa
Barat untuk lima tahun ke depan. Dan bagi yang sudah berniat golput dan tidak
tahu ada berapa dan siapa saja calon gubernur/wakil gubernur 2013-2018, belum
lah terlambat untuk segera insyaf,
segera amati media massa, tanya kerabat dan kawan dekat agar mendapatkan
referensi tentang siapakah dan seperti apakah figur calon gubernur dan wakil
gubernur yang ada, untuk kemudian ditentukan satu pilihan yang paling baik
menurut hati nurani, tidak lupa juga doakan agar pilihannya itu bisa menjaga
amanah bila nanti terpilih.
Selamat
memilih!
Tulisan ini juga diposting di http://politik.kompasiana.com/2013/02/22/golput-malu-dong-sama-de-dzikri-536079.html