Oleh : Mohamad Rian Ari Sandi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tugas
maha berat saat ini sedang dijalankan oleh makhluk Tuhan yang bernama manusia.
Bagaimana tidak, ketika gunung-gunung dan langit menolak “tawaran” Tuhan untuk
menjadi khalifah di bumi, manusia dengan segala kekurangannya justru bersedia
menerimanya. Karena itulah sudah menjadi konsekuensi bagi setiap manusia
dimanapun berada, pada hakikatnya dia adalah pemimpin yang wajib menjaga amanah
Tuhan untuk memakmurkan bumi dengan segala potensi yang diberikan oleh Tuhan
sejak ia lahir.
Hanya
saja sekarang sering kali manusia lupa akan tugasnya itu. Apalagi jika istilah
pemimpin terlalu diidentikan secara sempit kepada orang yang memegang suatu
jabatan formal tertentu seperti presiden, gubernur, atau ketua di sebuah
organisasi. Padahal sejatinya setiap manusia adalah pemimpin, minimal bagi
dirinya sendiri.
Meskipun memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pemimpin yang memegang suatu jabatan formal atau biasa disebut
pejabat publik memiliki pengaruh yang lebih besar dalam putaran roda kehidupan
masyarakat. Contoh yang paling kongkrit adalah jabatan presiden. Dengan jabatan
yang dimiliki, seorang presiden punya kendali penuh terhadap semua kebijakan di
negaranya. Jika ia menjalankan amanahnya dengan sebaik-baiknya, maka ia dapat
membawa rakyatnya ke kehidupan yang lebih baik, tetapi sebaliknya jika ia tidak
menjalankan amanahnya dengan baik maka berarti dia membawa rakyatnya ke
kehidupan yang lebih buruk.
Indonesia dewasa ini disebut-sebut
sedang dalam masa krisis kepemimpinan. Artinya, sangat sedikit diantara sekitar
250 juta penduduk Indonesia yang memiliki jiwa kepemimpinan sejati. Salah satu
indikator paling jelas dapat dilihat dari data yang dipaparkan oleh mendagri
Gamawan Fauzi, dia menyebutkan bahwa 290 kepala daerah di Indonesia tersangkut
masalah hukum, dimana 82,6 persen diantaranya karena masalah korupsi (sumber:
sriwijaya post).
Lebih parahnya lagi, kondisi saat
ini justru tidak hanya memperlihatkan lemahnya mentalitas para pemimpin bangsa
di berbagai tingkatan jabatan, tetapi rakyat yang susah diatur juga semakin
menambah pelik masalah organisasi negara ini. Salah satu indikatornya ialah
banyak sekali rakyat yang menuntut ini dan itu kepada pemimpinnya dalam hal ini
pemerintah, sedangkan rakyat itu sendiri tidak melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya bisa ia lakukan. Singkatnya, saat ini banyak rakyat yang lebih
menuntut hak sedangkan kewajibannya tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya,
rakyat di wilayah rawan banjir seringkali menuntut pemerintah agar bisa
memperbaiki keadaan. Namun di sisi lain mereka sendiri justru malah membuang
sampah sembarangan ke sungai atau gorong-gorong jalan sehingga bencana banjir
tidak pernah bisa diatasi.
Jika terus seperti ini, berbagai
permasalahan yang mendera negara ini tidak akan pernah bisa diatasi
setuntas-tuntasnya, bagaimanapun hebatnya pemerintah membuat kebijakan. Untuk
itulah, saat ini di Indonesia bukan sekedar membutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki gagasan hebat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa, tetapi
sebelum itu diperlukan terlebih dahulu seorang pemimpin yang mampu menggerakan
masyarakat (mobilisator) untuk bersama bergerak melakukan sesuatu hal dari yang
terkecil sampai terbesar untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Sehingga
bangsa sejahtera yang dicita-citakan bisa tercapai.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas,
penyusun mengajukan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pentingnya kemampuan menggerakan bagi seorang pemimpin?
2. Apa
ciri-ciri pemimpin yang mampu menggerakan?
3. Bagaimana
cara mencetak atau melatih pemimpin yang mampu menggerakan?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengkaji
dan mengetahui tentang:
1. Pentingnya
memiliki kemampuan menggerakan bagi seorang pemimpin
2. Ciri-ciri
pemimpin yang mampu menggerakan
3. Cara
mencetak atau melatih pemimpin yang mampu menggerakan
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Memberikan sumbangan pemikiran atau bahan
kajian yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan.
2. Menjadi
acuan atau pedoman bagi para calon pemimpin atau pemimpin yang sudah ada
BAB II
ISI
A.
Pentingnya memiliki kemampuan menggerakan bagi seorang pemimpin
“Knowing is
not enough, we must apply
Willing is not
enough, we must do.”
(Bruce Lee)
Sebuah
pesan dari aktor laga Bruce Lee mengenai pentingnya sebuah pengamalan dan aksi
atau tindakan. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengetahui sebuah solusi dari
suatu permasalahan, tetapi gagasan solusi tersebut tentunya haruslah
diaplikasikan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Kemudian pemimpin pun
tidak hanya cukup punya kemauan atau rencana, tetapi kemauan atau rencana itu
pun harus dilakukan. Sebagus apa pun rencana dan sehebat apa pun keinginan
tidaklah berguna jika sama sekali tidak dilakukan.
Berikut ini merupakan urgensi dari
pemimpin yang mampu memobilisasi:
1. Pekerjaan cepat diselesaikan dengan hasil
memuaskan
Sejatinya
banyaknya kuantitas dari anggota tim tidak selalu berbanding lurus dengan
kualitas hasil pekerjaan yang memuaskan. Ini dikarenakan banyaknya kuantitas anggota
justru bisa menjadi kontraproduktif manakala hanya sebagian atau hanya beberapa
anggota tim saja yang bekerja. Karena inti dari sukses atau tidaknya suatu
pekerjaan dari organisasi adalah kerjasama.
Kerjasama menurut Roucek dan Warren
berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama dan merupakan suatu
proses yang paling dasar. Kerjasama merupakan sutau bentuk proses sosial dimana
didalamnya terdapat aktifitas tertentu yang duitujukan untuk mencapai tujuan
bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktifitas
masing-masing. Ada beberapa prinsip-prinsip umum yang perlu diketahui berkaitan
tentang kerjasama sebagaimana yang dijelaskan oleh Edralin dan Whitaker dalam
Keban (2007:35) prinsip umum tersebut terdapat dalam prinsip good governance antara lain :
1.Transparansi
2.Akuntabilitas
3.Partisipatif
4.Efisiensi
5.Efektivitas
6.Konsensus
7.Saling menguntungkan dan memajukan
2. Efisiensi dan efektivitas
Secara
umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari perbandingan input dan output atau
rasio di mana input diubah menjadi output (Carter dkk. 1992:37; Mulreany
1991:8; Boyle 1989:19; Gleason dan Barnum 1982:380). Dalam kajian-kajian
ilmu ekonomi, memaksimalkan output dan mempertahankan input (output efficiency) lebih dikenal sebagai
produktivitas (Pass dkk. 1993:436-7). Syarat paling penting untuk mencapai
produktivitas organisasi adalah dengan memfungsikan semua roda organisasi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan begitu setiap elemen
organisasi hanya tinggal berkonsentrasi kepada tugasnya masing-masing dan
berkoordinasi dengan elemen organisasi yang lain.
Sementara itu menurut Cameron (1981a:45) ada empat pendekatan yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur efektivitas organisasi, yaitu:
Pertama
dan yang umum digunakan adalah dengan mengukur sejauh mana sebuah organisasi
mencapai tujuan atau target yang sudah ditetapkan yang disebut dengan Goal Model (Mulreany 1991:19; Boyle
1989:19-20; Downs dan Larkey 1986:7; Gleason dan Barnum 1982:380). Goal model atau lebih kita kenal dengan
visi lebih mudah untuk dicapai jika roda organisasi bergerak secara dinamis
namun tetap tersistematis.
Pendekatan
kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron (1981b:4), disebut System-Resource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut mampu
memperoleh semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan
organisasi tersebut.
Pendekatan
ketiga disebut Internal Process Model
yang menekankan pada proses dan mekanisme kerja dalam organisasi. Dalam
pendekatan ini sebuah organisasi dikatakan efektif manakala koordinasi diantara
semua elemen organisasi berlangsung damai. Ini berarti, seorang pemimpin selain
harus menggerakan juga harus selalu menselaraskan gerakan dari semua elemen
organisasi yang terlibat.
Pendekatan
keempat adalah Stategic-Constituencies Model. Pendekatan ini melihat efektivitas
suatu organisasi dari sejauh mana tingkat kepuasan semua stakeholder terhadap
kinerja organisasi.
B. Ciri-ciri pemimpin yang mampu
menjadi mobilisator
Setidaknya ada ciri dari seorang pemimpin yang piawai untuk
memobilisasi anggota timnya untuk bekerja dengan baik dalam organisasi, yaitu:
1. Terampil
Berkomunikasi
Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai
orator yang cemerlang, beliau pernah berkata, “Diantara kalian aku lah yang
paling fasih. Kelahiran ku di tengah suku Quraisy, dan lidah ku lidah Bani
Sa’ad (bagian dari suku Hawazin).” Di kalangan bangsa Arab, terdapat dua suku
yang dianggap mahir dalam berorasi: Suku Quraisy dan Hawazin (Hidayatullah,
2008). Tidak heran jika dalam berkomunikasi baik itu dari orang per orang
maupun secara langsung ke seluruh masyarakat, Nabi Muhammad selalu mampu
membuat lawan bicaranya terpukau dan tersentuh. Jika sudah begitu, tentu
perintah Nabi Muhammad untuk berbuat kebaikan kepada seluruh manusia akan
dengan mudah dipatuhi.
2.
Memberikan teladan
Hiro Tugiman (1999: 46) memaparkan
salah satu trilogi kepemimpinan ajaran Ki Hahar Dewantara yaitu Ing ngarso sung tulodho, artinya sebagai
seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan baik kepada anak buahnya, yaitu
dengan cara disiplin, jujur tidak korupsi, penuh toleransi, dan selalu
bertindak adil.
3. Memberikan
Motivasi
Masih menurut Hiro Tugiman (1999:
46) tentang trilogi kepemimpinan ajaran Ki Hajar Dewantara yang selanjutnya
berbunyi Ing Madyo Mangun Karso, yang
artinya dalam melaksanakan tugas bersama-sama anak buahnya harus mampu
memberikan motivasi agar anak buahnya dengan senang hati melaksanakan tugas
bersama-sama dengan baik.
4.
Melakukan penempatan posisi yang tepat
Right
man on the right place, istilah tersebut sudah familiar kita dengar. Hal
ini juga dikemukakan oleh Hiro Tugiman (1999: 46) yang menjadi poin ketiga dari
trilogi kepemimpinan ajaran Ki Hajar Dewantara yang berbunyi Tut Wuri Handayani, artinya seorang
pemimpin memberi pelimpahan wewenang kepada anak buahnya sesuai dengan
kemampuannya.
C. Cara melatih kemampuan pemimpin
yang mampu memobilisasi
1.
Menonton dan membaca kisah teladan pemimpin-pemimpin hebat
Menonton dan membaca kisah teladan
pemimpin-pemimpin hebat sangat penting untuk melatih intuisi kepemimpinan
seseorang. Biasanya akan ada efek motivasi yang timbul setelah membaca sebuah
kisah teladan dari seorang pemimpin hebat.
2. Berani
berbicara dalam berbagai kesempatan
Bisa karena biasa. Itulah pepatah
yang sering kita dengar untuk memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang
belum bisa kita lakukan. Begitupun dalam hal keterampilan berbicara, tidak
semua orang memiliki keterampilan berbicara yang baik. Tetapi bukan berarti
hanya orang tertentu saja yang bisa memiliki keterampilan berkomunikasi dengan
baik, karena pada hakikatnya semua orang pasti bisa. Yang membedakan adalah
proses untuk bisa itu yang berbeda-beda. Dan bagi orang yang sebelumnya belum
memiliki keterampila berkomunikasi cukup baik harus terus bersabar untuk terus
mencoba dan membiasakan diri di berbagai kesempatan berbicara di depan khalayak
umum.
3. Jadilah
pendengar yang baik
Perlu
juga dicatat bahwa keterampilan berkomunikasi bukan sepenuhnya berbicara,
tetapi juga mendengarkan. Bahkan seorang pemimpin hebat justru pemimpin yang
lebih banyak menggunakan telinganya. Bukan mulutnya. Pemimpin yang hebat justru
bekerja keras untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi dua arah, two way communication (Sulaiman, 2005:
51). Untuk itulah untuk menjadi seorang pemimpin dengan kemampuan komunikasi
yang baik, harus terus dilatih juga kemampuannya dalam mendengar dan menyimak,
terutama berkaitan dengan kritikan dan masukan yang diberikan kepada kita.
4. Belajar
mengenali dan memahami kepribadian orang lain
Keterampilan ini tidak kalah penting
untuk dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena hal ini penting dalam hal
pembangunan hubungan antara pemimpin dan dengan yang dipimpin juga untuk
penempatan posisi yang tepat bagi seseorang anggota tim.
5. Menjadi
teladan bagi teman sebaya
Menjadi teladan tentu berbeda dengan
pamer akan sesuatu kebaikan yang kita lakukan. Memberikan teladan bertujuan
untuk mengajak orang lain untuk mengikuti perbuatan kebaikan yang sama. Dan itu
lah salah satu modal penting bagi seorang pemimpin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adalah
berbahaya ketika organisasi tidak terkoordinir dengan baik. Negara Indonesia
merupakan salah satu contoh makro nya. Saat ini banyak dari kita selaku
masyarakat yang lebih banyak menuntut hak dan abai terhadap kewajiban. Seolah,
segala permasalahan yang menimpa negara ini adalah kesalahan pemerintah, dan
mereka pula lah yang harus membereskannya. Sementara masyarakat, yang
sebetulnya punya peran paling besar dalam perbaikan kondisi bangsa justru
banyak yang berpangku tangan dan ingin terima jadi. Dalam kondisi itu lah
negara ini memerlukan pemimpin sejati yang mampu menggerakan masyarakat untuk
ikut bergerak memberi sumbangsih pikiran atau pun tenaga dalam pembangunan
bangsa.
Pemimpin sejati tidak sekedar
memiliki ide, gagasan, konsep, dan rencana hebat. Tetapi seorang pemimpin
sejati harus juga bisa merealisasikan ide, gagasan, konsep, dan rencana
hebatnya melalui sebuah action yang hebat. Action yang hebat tidak lah bisa
akan terwujud jika pemimpin tidak mampu mengkoordinasikan timnya dengan baik.
Karena inti dari sebuah organisasi kepemimpinan adalah kerjasama. Maka dari itu
lah kerjasama tim yang melibatkan seluruh anggota tim mutlak diperlukan,
sehingga seluruh kemampuan mereka bisa dioptimalkan dengan baik untuk membantu
organisasi mencapai tujuan yang sudah dirancang bersama.
B.
Saran
Krisis
kepemimpinan yang terjadi saat ini tentu bukan lah sebuah perkara sepele. Semua
elemen bangsa harus menyadari hal ini dan harus ikut berpikir mencari
solusinya. Saran penulis saat ini kepada para tokoh politik sebagai orang-orang
yang berkiprah dalam mencari atau mempertahankan kekuasaan, mereka semua harus
kembali mengkaji dan menghayati hakikat dari kepemimpinan. Pun kepada
masyarakat. Kita semua harus lah menyadari, jumlah kita lebih banyak dari
pemerintah. Sederhananya, kunci perbaikan kondisi negara ini ada di tangan
kita. Pemerintah hanya tinggal mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung
dan memberikan arahan apa yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Yang paling
penting untuk diingat, sudah cukup masa dimana kita hanya menuntut perbaikan,
tanpa kita ikut serta melakukan perbaikan tersebut. Karena Tuhan hanya memberi
manusia mulut untuk bicara hanya satu. Sedangkan tangan dan kaki untuk bergerak
dan bekerja masing-masing dua. Artinya, talk less do more, sedikit bicara
banyak bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayatullah,
Muharram. Nabi Muhammad menurut Numerologi
dan Astrologi Cinta. (2008). Jakarta: Ufukpress.
Sulaiman, Tasirun. Pemimpin yang Gemblung. (2005). Jakarta: Erlangga
Thariq Muhammad
As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil. Melahirkan
Pemimpin Masa Depan. (2005). Jakarta: Gema Insani.
Tugiman,
Hiro. Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden
Soeharto. (1999). Yogyakarta: Kanisisus.