Dalam teori perang Tsun Zun, salah satu
faktor utama adalah mengenal musuh atau kompetitor. Dalam pemilu 2009, diluar
semua faktor mesin politik, kerja caleg dan gerakan serangan darat yang
dilakukan para kader, faktor utama yang sangat mempengaruhi pileg 2009 adalah
SBY yang mengantarkan Demokrat jadi pemenang pemilu. Faktor ketokohan SBY dalam
beberapa analisis memberi kontribusi 86 persen bagi kemenangan Demokrat.
Banyak analisis dilakukan terkait dengan
Tsunami SBY setelah itu, yang mengemuka ada tiga hal yaitu:
Pertama, figure SBY sangat sulit ditandingi. Dalam beberapa kaidah political marketing, tokoh itu
dilahirkan. David Axelord, mengatakan saat menilai Obama, “we found the man”. Kombinasi fisik yang good looking, karakter dan kejujuran serta momentum yang pas menjadi rahim yang
melahirkan tokoh. SBY dengan treatment
yang tepat mampu menyapu kemenangan 2009.
Kedua, faktor masyarakat Indonesia yang rata-rata usia sekolah 7,5
tahun sangat memerlukan sosok figur yang menyederhanakan persepsi pemilih.
Ketiga, di negara maju pun faktor tokoh tetap memberi dampak utama.
Kisah Obama, Tony Blair, Shintaro Abe sampai Angela Merkel menunjukan peran
tokoh yang penting.
Bagaimana dengan 2014?
miraclekidx.blogspot.com |
popularitas dan
elektabilitas Jokowi terus ungguk disbanding yang lain. Dukungan scomed dan journalis citizens terus mengemuka. Beberapa keputusan Jokowi
dianggap sesuai dengan harapan publik: transparansi anggaran, membuat tandingan
PRJ dan ide memindahkannya ke Monas, rekruitmen terbuka untuk jabatan lurah dan
camat serta kontroversi KJS. PDIP banyak menggunakannya dalam Pilkada.Potensi tsunami juga mungkin terjadi
melalui tokoh Jokowi. Sejak terpilih menjadi Gubernur DKI,
Ada anggapan citra Jokowi akan hilang karena
masih lebih setahun menjelang pilpres. Tapi jika melihat almanac politik ke
depan, tidak terdapat momen sebesar pilkada DKI. Ada pilkada Jatim, tapi nilai
lokalnya leih tinggi daripada isu nasional. Pileg melulu mengemuka, urusan
caleg dan mesin politik. karena itu peluang kompetitor Jokowi dalam survey
tidak lebih dari 10 kandidat. Dan melahirkan kandidat instan dalam politik yang
bising sangat kecil.
Apa pelajaran yang bisa diambil?
Menurut saya ada dua hal: pertama perlu
usaha serius dan berbasis merit system melahirkan tokoh. Salah satu kandidat
penantang Jokowi adalah Prabowo. Di 2009 lalu Prabowo hanya cawapres yang
kalah. Tapi dengan ketekunan dan terus memelihara modal yang ada, kini hasil
survwi menempatkannya di posisi dua.
Di 2004 ketokohan HNW setara SBY.
Sayangnya modal sosial yang mahal tidak berlanjut. Setelah amanah ketua MPR
tidak ada lagi panggung utama yang tersedia. Upaya memajukan HNW di Pilkada DKI sulit mengisi gap yang ada.
Beberapa menteri yang berprestasi pun
seperti mengulang nasib HNW. Nama Anton Apriantono sebagai peletak pondasi
pertanian modern mulai hilang tak terdengar.
Kedua, hargai ruang public. Sakralitas
ruang public perlu sekali kita jaga. Lagi-lagi rumus ruang publik sederhana:
integritas. Sama kata dan perbuatan. Bagi public dasar kekuasaan adalah
kepercayaan. Tingginya kepercayaan kepada Jokowi diantaranya janji KJS,
transparansi anggaran, dan dana kelurahan serta pamong praja sebagai pelayan
mulai diwujudkan.
#Intan Kusuma Putri