Kamis, 28 November 2013

Berguru dari Jepang



           

Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi

sumber gambar: http://www.santabanta.com/wallpapers/teachers-day/
 
68 tahun yang lalu saat dua kota di negaranya dibom atom, Kaisar Hirohito Jepang panik. Namun pertanyaan pertama yang ia lontarkan dalam kepanikannya itu bukan lah bagaimana kondisi rumah sakit beserta para tenaga medisnya, atau juga berapa jumlah pasukan tentaranya yang masih hidup tetapi pertanyaan yang ia lontarkan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup? Mungkin saat itu bukannya ia tidak menganggap penting keberadaan tenaga medis beserta fasilitas-fasilitas penunjangnya, bagaimanapun itu sangatlah penting untuk penanganan korban yang berjatuhan akibat aksi pengeboman tersebut.  Pun dengan keberadaan tentara ia juga sadar akan pentingnya kekuatan prajuritnya di tengah situasi tak menentu seperti itu, tetapi pada waktu itu kekhawatiran yang paling besar ia rasakan adalah bagaimana nasib Jepang di waktu-waktu selanjutnya. Mungkin itulah kenapa ia menanyakan langsung berapa jumlah guru yang tersisa. Menurut penulis kaisar Hirohito saat itu sadar betul, bahwa gambaran bangsa Jepang di masa depan pasca tragedi tersebut amat ditentukan oleh rakyat Jepang yang setelah pengeboman terjadi masih dalam masa kanak-kanak. Dan kualitas diri anak-anak tersebut amat sangat ditentukan oleh para guru yang mendidiknya.
            Pada akhirnya sekarang kita tahu seperti apa bangsa Jepang. Mereka dapat bangkit dengan cepat dari keterpurukan dan menjadi salah satu negara maju di asia dan juga dunia. Berbagai macam kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini seperti peralatan elektronik dan juga alat transportasi hampir didominasi oleh karya anak-anak Jepang. Boleh jadi kreator alat-alat elektronik dan alat-alat transportasi buatan Jepang yang saat ini dinikmati oleh masyarakat dunia adalah anak-anak Jepang yang selamat dari tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
            Cerita tersebut mungkin sudah familiar di telinga kita, tetapi dalam moment peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25 Nopember 2013 ini tidak ada salahnya kita kembali menggali hikmah dari sejarah keberhasilan bangsa Jepang keluar dari keterpurukan karena peran luar biasa para guru yang mendidik anak-anak mereka. Jepang sudah memberikan bukti kepada kita bahwa peran guru amat menentukan nasib bangsa di masa depan.
            Penulis ingin mengajak bangsa Indonesia di momen peringatan hari guru ini untuk berguru kepada Jepang. Kesuksesan yang saat ini diraih oleh Jepang tentu tidak diraih dengan cara instan. Melalui proses yang panjang dan dengan karakter bangsa yang kuat lah kesuksesan bisa mereka raih. Tanpa mengesampingkan profesi lainnya, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa peran guru pastilah sangat dominan membawa Jepang merangkak perlahan dari keterpurukan hingga bisa berdiri tegak dengan sederet kesuksesan.
Menyiapkan Kader Bangsa
            Rektor Universitas Paramadina yang juga penggagas Gerakan Indonesia Mengajar Anies Baswedan dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa kekayaan terbesar bangsa kita adalah manusianya. Ketika manusia Indonesia tercerdaskan dengan baik maka segala macam potensi alam yang dimiliki negeri ini bisa dikonversi untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
            Berkaca dari pernyaan itu kita mestinya menyadari bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia. Di pundak para gurulah bangsa ini menitipkan beban agar bisa mendidik kader-kader bangsa menjadi manusia Indonesia dengan daya saing global di masa depan. Tentu akan menjadi sebuah kebanggaan bagi para guru jika berhasil mewujudkan misi mulia tersebut.
Untuk itulah, sudah sepatutnya dan seharusnya seluruh guru dan calon guru yang tersebar di seluruh Indonesia menjadikan momen peringatan hari guru ini sebagai momen untuk introspeksi diri, agar terus dan terus meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik yang baik bagi calon-calon kader bangsa di masa depan. Jaya selalu guru Indonesia!
           
 Tulisan ini juga diposting di: http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/28/berguru-dari-jepang-614846.html
           
           

Senin, 04 November 2013

Paham Kebangsaan Menurut Hatta



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi


Mohammad Hatta, siapa yang tidak kenal tokoh yang satu ini. Beliau merupakan salah satu putra terbaik bangsa ini. Pengabdiannya bagi bangsa Indonesia baik itu selama perjuangan sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan sangatlah besar. Jasa-jasanya membuat harum namanya akan terus tercium sampai putra-putri bangsa di masa yang akan datang lahir. Semoga Allah Swt.memberikan tempat terbaik di alam mahsyar nanti untuk beliau.aamiinnn ya rabb.
Tulisan ini akan sedikit mengulas mengenai pemikiran Hatta yang dinukil dari buku biografi “Mohammad Hatta” yang ditulis oleh Salman Alfarizi dan juga relevansi bagi kehidupan kebangsaan saat ini.
Saat masa awal pergerakan kemerdekaan lewat organisasi-oraganisasi perjuangan kemerdekaan dimulai Mohammad Hatta gelisah akan landasan dan orientasi perjuangan dari organisasi-organisasi tersebut. Hatta merasa perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan tidak murni untuk kemaslahatan seluruh komponen bangsa. Dalam buku biografi Mohammad Hatta karya Salman Alfarizi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengamatan Hatta ada tiga macam kebangsaan yang berkembang pada zaman Hindia Belanda waktu itu. Ketiga macam paham kebangsaan itu ialah kebangsaan “cap ningrat”, kebangsaan “cap intelek”, dan kebangsaan “cap rakyat”. Ciri-ciri setiap paham kebangsaan itu ialah sebagai berikut:
Pertama, paham kebangsaan “cap ningrat” mengukur kebangsaan menurut golongan kaum bangsawan. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang akan/harus menjadi pemegang kekuasaan ketika kemerdekaan direbut. Menurut mereka itu sudah menjadi historisch recht (hukum sejarah). Karena tidak dipungkiri sejak zaman kerajaan maupun penjajahan Belanda kaum bangsawan selalu menjadi golongan yang memerintah.
Kedua, paham kebangsaan “cap intelek” hampir mirip dengan paham kebangsaan “cap ningrat”. Bedanya paham kebangsaan “cap intelek” menempatkan kaum-kaum intelektual lah yang harus diprioritaskan menjadi penguasa ketika Indonesia sudah merdeka. Mereka beranggapan bahwa bangsawan yang menjadi pemimpin bukanlah mereka yang bangsawan karena darah atau keturunan tetapi yang menjadi pemimpin adalah mereka yang bangsawan karena kecakapan dan kemampuan intelektual. Di dalam benak mereka rakyat diposisikan sebagai kaum bodoh, malas, miskin, dan suka menurut.  Sehingga mereka tidak layak untuk ikut campur mengurus negeri. Namun persamaan paham ini dengan paham kebangsaan “cap intelek” ialah sama-sama memperlakukan rakyat sebagai “perkakas” kaum intelek saja.
Ketiga, paham kebangsaan cap “rakyat”, paham inilah yang menurut Hatta harus dibangun karena menurut beliau rakyatlah badan dan jiwa bangsa. Rakyat juga lah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat suatu bangsa. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Sederhananya rakyatlah yang harus menjadi poros utama dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan negara. Dan pemimpin sejati adalah pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan lain.
Tentu dari ketiga paham yang dipaparkan paham ketiga lah yang paling ideal diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep kebangsaan “cap rakyat” atau kerakyatan hasil pemikiran Hatta itu tentu masih relevan untuk terus diaplikasikan oleh para pejabat publik saat ini. Karena memang sudah selayaknya kepentingan rakyat Indonesia haruslah ditempatkan di atas kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan. Rakyat haruslah selalu menjadi poros utama pembangunan bangsa. Seperti pernyataan yang disampaikan Anies Baswedan dalam berbagai kesempatan bahwa kekayaan terbesar bangsa Indonesia adalah manusianya (rakyat). Untuk itulah kunci memajukan Indonesia adalah pada pengembangan manusianya. Wallahualam bish shawab.

Sumber:
            Alfarizi, Salman. (2010). Mohammad Hatta. Yogyakarta: GARASI.

Tulisan ini juga diposting di: http://politik.kompasiana.com/2013/11/05/paham-kebangsaan-menurut-hatta-607856.html