Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
Di dalam menjalani kehidupan di
dunia ini kita akan selalu dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang mau tidak mau
membuat kita harus memilih jalan mana atau pilihan mana yang akan kita ambil.
Apapun jalan dan pilihan yang kita ambil akan memberikan kita sebuah
konsekuensi yang juga mau tidak mau harus kita hadapi. Konsekuensi tersebut
harus bisa kita sikapi dengan baik, karena seringkali ketika kita tidak bisa
dengan baik menyikapi konsekuensi dari jalan hidup kita, akan ada orang yang
dirugikan, baik itu diri sendiri, keluarga, ataupun orang banyak.
Sebagai seorang public figure yang tentunya dikenal oleh masyarakat luas segala
tindak tanduknya akan selalu menjadi perhatian. Siapa saja yang akan menempuh
jalan untuk menjadi public figure
tentu sudah tahu resiko dan konsekuensi tersebut, entah itu dia sebagai artis,
olahragawan, ataupun pejabat publik. Seorang Aceng Fikri yang saat ini menjabat
sebagai Bupati Garut tentu pasti tahu konsekuensi yang akan ia peroleh ketika
mencalonkan diri sebagai Bupati, tetapi tampaknya ia tidak betul-betul siap
dengan konsekuensi yang akan ia dapatkan.
Masyarakat Kabupaten Garut saat ini
boleh dibilang menjadi korban dari ketidaksiapan mental Aceng Fikri dalam
mengemban amanahnya sebagai Bupati. Kasus nikah sirinya dengan anak di bawah
umur (FO) dan kemudian menceraikannya dalam usia pernikahan empat hari dan
dilakukan hanya lewat pesan singkat begitu menggegerkan negeri ini. Kontan saja
Aceng langsung menjadi buruan awak media untuk dimintai keterangan mengenai
permasalahan tersebut. Semestinya kehadirannya di media bisa dimanfaatkan untuk
sedikit menenangkan publik yang sedang gaduh dengan permintaan maafnya secara
tulus dan memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh masyarakat. Namun yang
dilakukan oleh Aceng justru sebaliknya, walaupun dia meminta maaf kepada
seluruh masyarakat terutama masyarakat Garut melalui media, tetapi komentarnya
ketika ditanya alasan kepada dia menceraikan istri mudanya tersebut dalam usia
pernikahan yang baru berlangsung selama empat hari justru membuat masyarakat
tambah geram. Rasanya tak perlu saya jelaskan seperti apa komentarnya, anda
semua mungkin juga sudah tahu seperti apa komentar-komentar Aceng tersebut.
Tapi kemudian keadaannya semakin tambah parah karena Aceng tidak juga legowo memenuhi tuntutan masyarakat
Garut agar dia mau mundur dari jabatannya, bagaimanapun perangainya tersebut
jelas sudah tidak mencerminkan seorang pejabat publik yang semestinya selalu
menjaga wibawa. Padahal jika ia berbesar hati meletakan jabatannya, mungkin
akan sedikit mendapatkan “kompensasi
ampunan” dari
publik.
Setelah melalui proses politik dan
hukum yang cukup panjang, nasib Aceng saat ini berada di tangan Mahkamah Agung.
Beberapa waktu lalu hasil rapat paripurna DPRD Garut merekomendasikan
pemakzulan Aceng kepada MA karena dianggap telah melanggar etika sumpah jabatan
dan melanggar peraturan perundang-undangan no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, dan nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun walaupun Aceng pada akhirnya
nanti bisa dimakzulkan, rasanya tetap tidak cukup untuk memulihkan citra Garut
dengan cepat. Kasus yang menyeretnya tersebut tentu tidak hanya membawa
kenestapaan kepada Aceng sendiri juga keluarganya, tetapi masyarakat Garut yang
teu boga salah nanaon pun harus ikut
menanggung beban. Wajar saja jika kemudian masyarakat Garut sangat marah kepada
Aceng, karena Garut yang merupakan salah satu tempat destinasi wisata di Jawa
Barat dengan segala keindahan alam dan kreativitas masyarakatnya untuk
sementara harus rela lebih terkenal sebagai Kabupaten yang pemimpinnya khilaf tak
bisa membendung gelora birahinya dengan baik.
Peristiwa satu minggu lalu ketika
saya berkunjung ke Jogja bersama tiga orang kawan setidaknya bisa menjadi
bukti. Ketika kami menyambangi Polresta Yogyakarta untuk menginap di musholla
yang ada di sana, salah seorang petugas polisi bertanya dari mana kami berasal.
Kami lalu menjawab berasal dari Bandung (karena kami semua kuliah di Bandung,
walaupun hanya saya yang asli dari kabupaten Bandung). Mendengar nama Bandung
disebut bapak yang tak sempat kami ingat namanya tersebut secara spontan
menyahut “kirain dari Garut”. Saya kemudian menimpali bahwa diantara kami ada
salah seorang warga asli Garut yakni Alam Syah Pratama (salah seorang personil
di blog ini) sambil menunjuk ke arahnya. Mengetahui dia sedang dibicarakan Alam
kemudian datang menghampiri dan disambut dengan celetukan dari pak polisi itu
“wahh ini nih anak buahnya Aceng”, mendengar celetukan pak polisi tersebut kami
berempat hanya menimpalinya dengan tertawa. Dalam benak saya waktu itu hanya
terpikir bahwa kasus Aceng memang telah mendapatkan perhatian banyak orang,
tidak hanya di Garut dan Jawa Barat, tetapi juga di seluruh Indonesia.
Namun ketika akhir-akhir ini saya
renungkan kembali peristiwa tersebut dan juga berbagai tanggapan dari
masyarakat luas di seluruh Indonesia tentang kasus Aceng, saya
menjadi prihatin. Nama Kabupaten Garut, dengan sekejap dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya,
Garut terkenal bukan karena hal positif seperti keindahan alam dan
tempat-tempat wisatanya tetapi justru karena hal negatif yaitu skandal pernikahan
siri sang Bupati.
Semoga kejadian yang menimpa Garut
menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa terkadang hal-hal positif yang banyak kita miliki
bisa tertutupi oleh satu hal negatif
yang kita lakukan, apalagi jika status kita sebagai public figure yang akan selalu mendapatkan perhatian dari khalayak
umum. Keadaannya tambah rumit jika persnya seperti di Indonesia saat ini yang
selalu menganggap “bad news is good news,
akan mendatangkan banyak fulus”. Boleh
jadi, pak polisi yang saya ceritakan di atas dan juga masyarakat lain pun
sebelumnya belum pernah mendengar Garut, namun karena pemberitaan media tentang
Aceng yang berlebihan dan tidak seimbang mereka akhirnya menjadi tahu tentang
Garut, sebuah tempat dimana seorang Bupati berskandal berada. Tidak heran
ketika seseorang atau sebuah kelompok melakukan sebuah kesalahan, pers begitu
membabi buta memberitakan kesalahan tersebut dengan harapan mendongkrak rating.
Dampaknya citra buruk tidak hanya melekat kepada pihak yang melakukan kesalahan,
tetapi pihak-pihak yang memiliki kedekatan secara biologis, emosional, dan
sosial dengan pihak yang melakukan kesalahan tersebut pun citranya ikut
terpuruk walaupun tidak memiliki dosa apa-apa.
Saya hanya ingin semua orang tahu,
di seluruh wilayah Indonesia dan juga di dunia. Garut lebih dari sekedar
seorang Aceng, karena Aceng hanyalah nila setitik di
Garut. Dia manusia biasa yang tak pernah luput dari dosa, SEPERTI KITA SEMUA. Sudah
sebaiknya kita berhenti untuk menghakimi Aceng, apalagi jika penghakiman itu
juga diberikan kepada masyarakat Garut secara keseluruhan yang tak punya salah
apa-apa. Dari sekarang anda harus melihat Garut dari sisi yang lain, karena
anda akan melihat Garut sebagai kota yang penuh dengan pesona alam dan
kreativitas masyarakatnya.
Kabupaten Garut adalah salah satu
tempat wisata favorit di Jawa Barat. Di sana ada komplek pemandian air panas,
Situ Bagendit, Taman Satwa Cikembulan, Pantai Santolo, Candi Cangkuang, dan
lain-lainnya. Garut juga terkenal dengan julukan Kota Intan, kemudian makanan
khas Dodol dengan berbagai macam variasinya termasuk dodol campur coklat yang
dikenal dengan chocodot, fashion berbahan dasar kulit, dan yang terakhir adalah
domba yang kualitasnya sudah diakui dunia. Harusnya hal-hal itu yang diangkat
oleh media ke permukaan, agar masyarakat tahu Garut yang sesungguhnya.
Bukan apa-apa saya menulis artikel
ini. Walaupun saya lahir di Bandung, tetapi bagi saya Garut punya ikatan
emosional tersendiri. Bukan karena secara geografi Garut merupakan tetangga
dekat Bandung, tetapi dari sejak kecil sampai sekarang Garut seringkali menjadi
tempat bagi saya bersama keluarga ataupun teman-teman untuk melepas lelah dan
kepenatan dari berbagai rutinitas dengan mengunjungi berbagai tempat wisata
yang ada di sana, Garut juga merupakan tempat dimana Ayah saya menuntut ilmu di
sebuah pesantren dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, dan dari Garut jugalah sahabat
terbaik saya Alam Syah Pratama dilahirkan.
Tulisan ini juga dimuat di http://politik.kompasiana.com/2012/12/31/indonesia-harus-tahu-garut-bukan-hanya-tentang-aceng-520344.html