Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
Sekitar dua bulan kurang lagi rakyat
Jawa Barat akan melaksanakan pesta demokrasi regional untuk memilih pemimpin
pemerintah provinsi Jawa Barat periode 2013-2018. Sudah kita ketahui bersama
bahwa ada lima pasangan calon yang akan bertarung memperebutkan simpati rakyat
Jawa Barat. Nomor urut satu ada pasangan independen Dikdik Mulyana-Cecep NS
Toyib, nomor dua ada mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin yang
berpasangan dengan mantan Bupati Tasikmalaya Tatang Fahranul Hakim (diusung
oleh Partai Golkar), nomor tiga ada Dede Yusuf yang merupakan wagub petahana
berpasangan dengan mantan Sekretaris Daerah Pemprov Jawa Barat Lex Laksamana
(didukung oleh koalisi Partai Demokrat, PAN, dan PKB), nomor empat yaitu calon gubernur
petahana Ahmad Heryawan yang menggandeng aktor kawakan Deddy Mizwar sebagai
cawagub (diusung koalisi PKS, PPP, Hanura, dan PBB), dan nomor lima yaitu Rieke
Dyah Pitaloka yang berpasangan dengan aktivis anti korupsi Teten Masduki
(diusung oleh PDIP).
Kita
tentunya berharap pilgub nanti akan berlangsung dengan aman, lancar, dan
menghasilkan pemimpin Jawa Barat untuk lima tahun kedepan yang bisa membawa
Jawa Barat ke arah yang lebih baik. Dan salah satu indikator dari kesuksesan
sebuah pemilihan umum adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam
menggunakan hak pilihnya. Sementara itu kita saat ini dihantui dengan
kemungkinan tingginya angka golput (golongan putih) di pilgub yang akan
berlangsung bulan Februari tersebut. Apalagi jika kita melihat data dan fakta
angka golput di pemilu 2009 lalu dan di beberapa pemilukada yang sudah
berlangsung menunjukan bahwa tren tingkat angka golput semakin terus meningkat
dan memprihatinkan. Yang paling terbaru adalah hasil pemilihan wali kota Bekasi
yang berlangsung sekitar satu pekan lalu. Berdasarkan hasil hitung cepat LSI
masyarakat golput secara tidak resmi dapat dianggap sebagai pemenang, bagaimana
tidak presentase pemilih golput ada di angka 51,1 %, sementara angka
partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya hanya sebesar 48,8 %. Tentu
hal tersebut bukanlah sebuah hal positif dalam kehidupan demokrasi Indonesia,
pun jika itu terjadi di pilgub Jabar nanti.
Dari
beberapa catatan dari beberapa pakar terutama para pengamat politik, saya dapat
menyimpulkan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka golput
dalam pemilu atau pemilukada. Pertama, masyarakat mengalami kejenuhan karena terlalu banyak pemilihan
umum yang berlangsung, dari mulai pemilihan anggota legislatif, pemilihan
presiden/wapres, pemilihan gubernur, dan pemilihan bupati/wali kota. Kedua, adanya kekecewaan terhadap pemimpin-pemimpin
atau wakil rakyat yang ada saat ini sehingga membuat masyarakat menjadi
pesimistis bahwa dalam pemilukada akan menghasilkan pemimpin daerah seperti
yang mereka harapkan. Ketiga, administrasi dari KPU yang kurang baik, hal ini
terutama berkaitan dengan masalah pendataan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap.
Boleh jadi ada seseorang yang hendak menyalurkan aspirasinya dalam pilkada
justu tidak terfasilitasi karena namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih
tetap yang dikeluarkan KPU. Jadilah dengan terpaksa orang tersebut termasuk ke
dalam kelompok golput. Keempat, sosialisasi yang kurang kreatif sehingga
sosialisasi yang sudah dilakukan dalam jangka waktu lama pun menjadi tidak efektif
meyakinkan masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan yang terakhir adalah
karena murni faktor ideologi, dalam artian calon pemimpin yang tersedia dalam
kontes pemilihan tidak ada satu pun yang mewakili ideologi yang ia yakini
sehingga akhirnya orang tersebut memilih untuk golput.
Untuk
meminimalisir angka golput di pilgub nanti tentunya perlu strategi dan
kerjasama dari semua pihak. Dalam hal ini tidak hanya KPUD Jawa Barat yang
bertanggungjawab, tapi seluruh kandidat dan partai-partai politik yang ada
harus bisa memberikan pendidikan politik positif agar masyarakat memiliki
kesadaran dan keyakinan untuk menggunakan hak pilihnya. Jangan sampai kejadian
di pilkada Bekasi terulang di pilgub Jabar nanti, karena kita sangat berharap
pemimpin Jawa Barat yang nanti terpilih betul-betul merepresentasikan kehendak
dan aspirasi masyarakat Jawa Barat secara mayoritas.
Pilihan
untuk tidak memilih merupakan hak bagi setiap warga negara yang memiliki hak
pilih. Namun alangkah lebih bijaknya jika pilihan tersebut diambil atas
dasar-dasar ideologis atau hasil selektifisasi terhadap calon-calon pemimpin
yang ada. Kaum golput yang seperti itu mungkin akan lebih dimaklumi daripada kaum
golput yang tidak menggunakan hak
pilih karena sikap apatisnya terhadap proses politik dan sikap pesimistisnya
akan terjadinya perubahan di tangan pemimpin hasil dari pemilihan umum.
Secara
khusus saya ingin menyampaikan kepada siapa saja yang dari saat ini sudah berniat
untuk menjadi kaum golput karena sikap apatis dan pesimisnya, bahwa anda atau
mereka harus berkaca kepada Wanda (25) seorang tahanan di salah satu LP yang
ada di Cirebon. Saat diwawancara oleh HU Pikiran Rakyat setelah mendapatkan
sosialisasi pemilukada dari KPUD Cirebon tentang akankah dia menggunakan hak
pilihnya dalam pilwalkot dan pilgub nanti, dia menjawab “Saya tetap akan
menggunakan hak pilih sebaik mungkin. Saya tidak akan golput, karena memilih
pemimpin akan menentukan kemajuan daerah lima tahun ke depan”, (HU Pikiran
Rakyat, 29 Desember 2012). Semoga saja semangat partisipatif dari Wanda dalam
proses demokrasi yang akan berlangsung nanti juga menular kepada seluruh
masyarakat Jawa Barat, karena satu suara anda menentukan masa depan Jawa Barat
lima tahun ke depan. Salam Pemilukada!
Tulisan ini juga dipublish di http://politik.kompasiana.com/2012/12/30/golput-di-pilgub-jabar-2013-520077.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar