Oleh:
Mohamad Rian Ari Sandi
Mohammad
Hatta, siapa yang tidak kenal tokoh yang satu ini. Beliau merupakan salah satu
putra terbaik bangsa ini. Pengabdiannya bagi bangsa Indonesia baik itu selama
perjuangan sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan sangatlah besar.
Jasa-jasanya membuat harum namanya akan terus tercium sampai putra-putri bangsa
di masa yang akan datang lahir. Semoga Allah Swt.memberikan tempat terbaik di
alam mahsyar nanti untuk beliau.aamiinnn ya rabb.
Tulisan
ini akan sedikit mengulas mengenai pemikiran Hatta yang dinukil dari buku
biografi “Mohammad Hatta” yang ditulis oleh Salman Alfarizi dan juga relevansi
bagi kehidupan kebangsaan saat ini.
Saat
masa awal pergerakan kemerdekaan lewat organisasi-oraganisasi perjuangan
kemerdekaan dimulai Mohammad Hatta gelisah akan landasan dan orientasi
perjuangan dari organisasi-organisasi tersebut. Hatta merasa perjuangan
kemerdekaan yang mereka lakukan tidak murni untuk kemaslahatan seluruh komponen
bangsa. Dalam buku biografi Mohammad Hatta karya Salman Alfarizi tersebut
dijelaskan bahwa berdasarkan pengamatan Hatta ada tiga macam kebangsaan yang berkembang
pada zaman Hindia Belanda waktu itu. Ketiga macam paham kebangsaan itu ialah
kebangsaan “cap ningrat”, kebangsaan “cap intelek”, dan kebangsaan “cap
rakyat”. Ciri-ciri setiap paham kebangsaan itu ialah sebagai berikut:
Pertama,
paham kebangsaan “cap ningrat” mengukur kebangsaan menurut golongan kaum
bangsawan. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang akan/harus menjadi
pemegang kekuasaan ketika kemerdekaan direbut. Menurut mereka itu sudah menjadi
historisch recht (hukum sejarah).
Karena tidak dipungkiri sejak zaman kerajaan maupun penjajahan Belanda kaum
bangsawan selalu menjadi golongan yang memerintah.
Kedua,
paham kebangsaan “cap intelek” hampir mirip dengan paham kebangsaan “cap
ningrat”. Bedanya paham kebangsaan “cap intelek” menempatkan kaum-kaum
intelektual lah yang harus diprioritaskan menjadi penguasa ketika Indonesia
sudah merdeka. Mereka beranggapan bahwa bangsawan yang menjadi pemimpin
bukanlah mereka yang bangsawan karena darah atau keturunan tetapi yang menjadi
pemimpin adalah mereka yang bangsawan karena kecakapan dan kemampuan
intelektual. Di dalam benak mereka rakyat diposisikan sebagai kaum bodoh,
malas, miskin, dan suka menurut.
Sehingga mereka tidak layak untuk ikut campur mengurus negeri. Namun
persamaan paham ini dengan paham kebangsaan “cap intelek” ialah sama-sama
memperlakukan rakyat sebagai “perkakas” kaum intelek saja.
Ketiga,
paham kebangsaan cap “rakyat”, paham inilah yang menurut Hatta harus dibangun
karena menurut beliau rakyatlah badan dan jiwa bangsa. Rakyat juga lah yang
menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat suatu bangsa. Dengan rakyat kita akan
naik dan dengan rakyat kita akan turun. Sederhananya rakyatlah yang harus
menjadi poros utama dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan negara. Dan
pemimpin sejati adalah pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat di atas
kepentingan lain.
Tentu
dari ketiga paham yang dipaparkan paham ketiga lah yang paling ideal
diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep kebangsaan “cap
rakyat” atau kerakyatan hasil pemikiran Hatta itu tentu masih relevan untuk
terus diaplikasikan oleh para pejabat publik saat ini. Karena memang sudah
selayaknya kepentingan rakyat Indonesia haruslah ditempatkan di atas
kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan. Rakyat haruslah selalu menjadi
poros utama pembangunan bangsa. Seperti pernyataan yang disampaikan Anies
Baswedan dalam berbagai kesempatan bahwa kekayaan terbesar bangsa Indonesia
adalah manusianya (rakyat). Untuk itulah kunci memajukan Indonesia adalah pada
pengembangan manusianya. Wallahualam bish shawab.
Sumber:
Alfarizi, Salman. (2010). Mohammad
Hatta. Yogyakarta: GARASI.
Tulisan ini juga diposting di: http://politik.kompasiana.com/2013/11/05/paham-kebangsaan-menurut-hatta-607856.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar