Minggu, 01 Desember 2013

Aher dan Pemilu Raya PKS



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi

Sumber gambar : http://muhammadyusro.wordpress.com/2012/11/04/dr-hc-h-ahmad-heryawanlc-gubernur-jabar-yang-kaya-prestasi/

            Partai Keadilan Sejahtera saat ini tengah gencar melaksanakan pemilihan raya calon Presiden yang akan mereka usung di Pilpres 2014 nanti. Sesuai dengan julukannya sebagai partai kader, para kandidat yang bersaing pun berasal dari kader internal mereka sendiri. Pemira ini sendiri akan melibatkan kurang lebih 350.000 kader PKS se-Indonesia. Beberapa nama yang diperhitungkan sebagai kandidat kuat yaitu diantaranya adalah Anis Matta (Presiden PKS), Hidayat Nur Wahid (Ketua Fraksi PKS di DPR), dan Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat).
            Menurut pendapat penulis pribadi, pemira ini merupakan suatu langkah yang baik dalam dunia demokrasi Indonesia. Dengan pemira ini harapan masyarakat Indonesia agar figur-figur yang muncul dan akan bersaing sebagai calon Presiden merupakan figur terbaik bisa diwujudkan. Sistem yang dianut PKS ini juga diluar tradisi lama partai-partai politik lainnya. Biasanya pengusungan figur yang akan dijadikan sebagai calon pemimpin pusat atau pun daerah ditentukan sepenuhnya oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan kurang atau tanpa memperhatikan sama sekali aspirasi kader akar rumput. Namun dengan pemilu raya ini, PKS telah memberikan kesempatan kepada semua kadernya dari Sabang sampai Merauke untuk memilih kader terbaik yang akan mereka usung di Pilpres 2014 nanti.
Nasib Jawa Barat?
            Diantara kandidat kuat capres internal PKS untuk Pilpres 2014 tertera nama Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Tentu merupakan suatu hal yang wajar jika Aher –begitu ia akrab disapa—menjadi salah satu kandidat kuat. Kepemimpinannya selama kurang lebih 6 tahun di Jawa Barat memang cukup baik, walaupun berbagai kekurangan pasti selalu ada. Namun indikator sederha bahwa kepemimpinanannya cukup baik bisa dilihat dari banyaknya penghargaan yang diterima olehnya sebagai Gubernur Jawa Barat yang sudah mencapai 113 penghargaan (per Agustus 2013, sumber: okezone.com). Dan bukan tidak mungkin jika ia diberikan kepercayaan sebagai Presiden bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
            Namun yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah, jika Ahmad Heryawan terpilih sebagai Capres internal terpilih PKS, bagaimana nasib kepemipinannya di Jawa Barat? Tentunya akan ada beberapa kemungkinan. Dan diantara kemungkinan-kemungkinan itu adalah Ahmad Heryawan memilih untuk melepaskan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat agar bisa berkonsentrasi dalam pencapresannya. Jika itu yang terjadi, maka secara otomatis Deddy Mizwar lah yang akan menjadi Gubernur Jawa Barat menempati posisi Aher. Pertanyaan selanjutnya ialah, sanggupkah Deddy Mizwar melaksanakan tugas sebagai Gubernur padahal pengalamannya dalam memimpin suatu institusi pemerintah dan juga pengalamannya dalam memahami Jawa Barat masih seumur jagung? Dalam kondisi seperti itulah Aher dan Partai Keadilan Sejahtera harus berpikir panjang dan matang. Penulis sama sekali tidak bermaksud menyepelekan kapasitas dan kapabilitas Deddy Mizwar, tetapi intinya hanya sekedar mengingatkan, bahwa dalam pengambilan langkah politik apa pun yang berkaitan dengan khalayak umum harus mempertimbangkan kemaslahatan secara komprehensif. Penulis yakin para elit PKS lebih faham terhadap hal-hal seperti ini.
            Pada akhirnya semoga siapapun yang akan terpilih menjadi capres internal PKS merupakan figur terbaik tanpa harus ada sebagian masyarakat yang dirugikan. aamiinn

Tulisan ini juga diposting di : http://politik.kompasiana.com/2013/12/02/aher-dan-pemilu-raya-pks-615877.html

Kamis, 28 November 2013

Berguru dari Jepang



           

Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi

sumber gambar: http://www.santabanta.com/wallpapers/teachers-day/
 
68 tahun yang lalu saat dua kota di negaranya dibom atom, Kaisar Hirohito Jepang panik. Namun pertanyaan pertama yang ia lontarkan dalam kepanikannya itu bukan lah bagaimana kondisi rumah sakit beserta para tenaga medisnya, atau juga berapa jumlah pasukan tentaranya yang masih hidup tetapi pertanyaan yang ia lontarkan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup? Mungkin saat itu bukannya ia tidak menganggap penting keberadaan tenaga medis beserta fasilitas-fasilitas penunjangnya, bagaimanapun itu sangatlah penting untuk penanganan korban yang berjatuhan akibat aksi pengeboman tersebut.  Pun dengan keberadaan tentara ia juga sadar akan pentingnya kekuatan prajuritnya di tengah situasi tak menentu seperti itu, tetapi pada waktu itu kekhawatiran yang paling besar ia rasakan adalah bagaimana nasib Jepang di waktu-waktu selanjutnya. Mungkin itulah kenapa ia menanyakan langsung berapa jumlah guru yang tersisa. Menurut penulis kaisar Hirohito saat itu sadar betul, bahwa gambaran bangsa Jepang di masa depan pasca tragedi tersebut amat ditentukan oleh rakyat Jepang yang setelah pengeboman terjadi masih dalam masa kanak-kanak. Dan kualitas diri anak-anak tersebut amat sangat ditentukan oleh para guru yang mendidiknya.
            Pada akhirnya sekarang kita tahu seperti apa bangsa Jepang. Mereka dapat bangkit dengan cepat dari keterpurukan dan menjadi salah satu negara maju di asia dan juga dunia. Berbagai macam kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini seperti peralatan elektronik dan juga alat transportasi hampir didominasi oleh karya anak-anak Jepang. Boleh jadi kreator alat-alat elektronik dan alat-alat transportasi buatan Jepang yang saat ini dinikmati oleh masyarakat dunia adalah anak-anak Jepang yang selamat dari tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
            Cerita tersebut mungkin sudah familiar di telinga kita, tetapi dalam moment peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25 Nopember 2013 ini tidak ada salahnya kita kembali menggali hikmah dari sejarah keberhasilan bangsa Jepang keluar dari keterpurukan karena peran luar biasa para guru yang mendidik anak-anak mereka. Jepang sudah memberikan bukti kepada kita bahwa peran guru amat menentukan nasib bangsa di masa depan.
            Penulis ingin mengajak bangsa Indonesia di momen peringatan hari guru ini untuk berguru kepada Jepang. Kesuksesan yang saat ini diraih oleh Jepang tentu tidak diraih dengan cara instan. Melalui proses yang panjang dan dengan karakter bangsa yang kuat lah kesuksesan bisa mereka raih. Tanpa mengesampingkan profesi lainnya, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa peran guru pastilah sangat dominan membawa Jepang merangkak perlahan dari keterpurukan hingga bisa berdiri tegak dengan sederet kesuksesan.
Menyiapkan Kader Bangsa
            Rektor Universitas Paramadina yang juga penggagas Gerakan Indonesia Mengajar Anies Baswedan dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa kekayaan terbesar bangsa kita adalah manusianya. Ketika manusia Indonesia tercerdaskan dengan baik maka segala macam potensi alam yang dimiliki negeri ini bisa dikonversi untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
            Berkaca dari pernyaan itu kita mestinya menyadari bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia. Di pundak para gurulah bangsa ini menitipkan beban agar bisa mendidik kader-kader bangsa menjadi manusia Indonesia dengan daya saing global di masa depan. Tentu akan menjadi sebuah kebanggaan bagi para guru jika berhasil mewujudkan misi mulia tersebut.
Untuk itulah, sudah sepatutnya dan seharusnya seluruh guru dan calon guru yang tersebar di seluruh Indonesia menjadikan momen peringatan hari guru ini sebagai momen untuk introspeksi diri, agar terus dan terus meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik yang baik bagi calon-calon kader bangsa di masa depan. Jaya selalu guru Indonesia!
           
 Tulisan ini juga diposting di: http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/28/berguru-dari-jepang-614846.html
           
           

Senin, 04 November 2013

Paham Kebangsaan Menurut Hatta



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi


Mohammad Hatta, siapa yang tidak kenal tokoh yang satu ini. Beliau merupakan salah satu putra terbaik bangsa ini. Pengabdiannya bagi bangsa Indonesia baik itu selama perjuangan sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan sangatlah besar. Jasa-jasanya membuat harum namanya akan terus tercium sampai putra-putri bangsa di masa yang akan datang lahir. Semoga Allah Swt.memberikan tempat terbaik di alam mahsyar nanti untuk beliau.aamiinnn ya rabb.
Tulisan ini akan sedikit mengulas mengenai pemikiran Hatta yang dinukil dari buku biografi “Mohammad Hatta” yang ditulis oleh Salman Alfarizi dan juga relevansi bagi kehidupan kebangsaan saat ini.
Saat masa awal pergerakan kemerdekaan lewat organisasi-oraganisasi perjuangan kemerdekaan dimulai Mohammad Hatta gelisah akan landasan dan orientasi perjuangan dari organisasi-organisasi tersebut. Hatta merasa perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan tidak murni untuk kemaslahatan seluruh komponen bangsa. Dalam buku biografi Mohammad Hatta karya Salman Alfarizi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengamatan Hatta ada tiga macam kebangsaan yang berkembang pada zaman Hindia Belanda waktu itu. Ketiga macam paham kebangsaan itu ialah kebangsaan “cap ningrat”, kebangsaan “cap intelek”, dan kebangsaan “cap rakyat”. Ciri-ciri setiap paham kebangsaan itu ialah sebagai berikut:
Pertama, paham kebangsaan “cap ningrat” mengukur kebangsaan menurut golongan kaum bangsawan. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang akan/harus menjadi pemegang kekuasaan ketika kemerdekaan direbut. Menurut mereka itu sudah menjadi historisch recht (hukum sejarah). Karena tidak dipungkiri sejak zaman kerajaan maupun penjajahan Belanda kaum bangsawan selalu menjadi golongan yang memerintah.
Kedua, paham kebangsaan “cap intelek” hampir mirip dengan paham kebangsaan “cap ningrat”. Bedanya paham kebangsaan “cap intelek” menempatkan kaum-kaum intelektual lah yang harus diprioritaskan menjadi penguasa ketika Indonesia sudah merdeka. Mereka beranggapan bahwa bangsawan yang menjadi pemimpin bukanlah mereka yang bangsawan karena darah atau keturunan tetapi yang menjadi pemimpin adalah mereka yang bangsawan karena kecakapan dan kemampuan intelektual. Di dalam benak mereka rakyat diposisikan sebagai kaum bodoh, malas, miskin, dan suka menurut.  Sehingga mereka tidak layak untuk ikut campur mengurus negeri. Namun persamaan paham ini dengan paham kebangsaan “cap intelek” ialah sama-sama memperlakukan rakyat sebagai “perkakas” kaum intelek saja.
Ketiga, paham kebangsaan cap “rakyat”, paham inilah yang menurut Hatta harus dibangun karena menurut beliau rakyatlah badan dan jiwa bangsa. Rakyat juga lah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat suatu bangsa. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Sederhananya rakyatlah yang harus menjadi poros utama dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan negara. Dan pemimpin sejati adalah pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan lain.
Tentu dari ketiga paham yang dipaparkan paham ketiga lah yang paling ideal diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep kebangsaan “cap rakyat” atau kerakyatan hasil pemikiran Hatta itu tentu masih relevan untuk terus diaplikasikan oleh para pejabat publik saat ini. Karena memang sudah selayaknya kepentingan rakyat Indonesia haruslah ditempatkan di atas kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan. Rakyat haruslah selalu menjadi poros utama pembangunan bangsa. Seperti pernyataan yang disampaikan Anies Baswedan dalam berbagai kesempatan bahwa kekayaan terbesar bangsa Indonesia adalah manusianya (rakyat). Untuk itulah kunci memajukan Indonesia adalah pada pengembangan manusianya. Wallahualam bish shawab.

Sumber:
            Alfarizi, Salman. (2010). Mohammad Hatta. Yogyakarta: GARASI.

Tulisan ini juga diposting di: http://politik.kompasiana.com/2013/11/05/paham-kebangsaan-menurut-hatta-607856.html

Kamis, 19 September 2013

Selebritisasi Pejabat Publik



Sumber gambar: http://www.penchenk.com/2012/12/jokowi.html

Oleh : Mohamad Rian Ari Sandi

Saya tetap kagum dgn kerja jokowi, yg agak malesin pemberitaan media yg mulai anggap dia seperti selebriti, bkn kepala daerah.. :(  (Yunarto Wijaya-Pengamat Politik)
            Sebuah tweet beberapa waktu lalu dari seorang pengamat politik, Yunarto Wijaya, terhadap fenomena eksploitasi kepemimpinan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta sangatlah menyentil. Dia mengungkapkan kekagumannya atas kinerja Jokowi, tetapi merasa terganggu dengan pemberitaan media massa tentang aktivitas Jokowi yang menurutnya berlebihan.
            Sudah banyak sekali fenomena hijrahnya para selebriti tanah air dari panggung hiburan ke panggung politik. Kita tahu diantara mereka ada yang sudah berhasil duduk di parlemen sebagai anggota DPR dan juga menjadi Kepala daerah atau Wakil kepala daerah. Fenomena tersebut membuat keberadaan seleb yang menjadi politisi atau seleb yang menjadi pejabat tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang aneh . Namun, apa jadinya jika ada pejabat yang justru bergeser atau digeserkan menjadi bak selebritis? Ya, itu dia yang terjadi kepada Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, atau biasa akrab dipanggil dengan Jokowi.
            Pejabat yang nyeleb atau lebih tepatnya pejabat yang diselebkan sesungguhnya secara tidak disadari sedang terjadi kepada Jokowi. Sepak terjangnya yang mengagumkan sebagai pemimpin provinsi ibu kota dan sebelumnya sebagai wali kota Solo belakangan ini selalu menjadi salah satu sorotan utama media. Gaya kepemimpinannya yang seringkali menerobos batas-batas prosedur formal seorang pejabat membuatnya jauh berbeda dengan pejabat kebanyakan. Salah satu trademark-nya sebagai pejabat adalah blusukan, yakni turun langsung mengunjungi masyarakat untuk melihat dan merasakan masalah apa yang sebenarnya sedang terjadi di masyarakat. Tidak hanya itu, dibalik gaya santainya dia merupakan seorang pemimipin yang sangat tegas. Beberapa kali dia turun langsung ke instansi-instansi pemerintahan yang berada di bawah naungannya untuk melihat secara langsung kinerja para pelayan publik. Dan ketika ia mendapati kinerja para pelayan publik itu tidak sebagaimana mestinya, tidak segan-segan ia memberikan teguran keras.
            Gaya kepemimpinan Jokowi yang sangat berbeda dari pejabat kebanyakan tersebut tidak ayal membuatnya selalu menjadi sorotan utama media. Kita tentu memaklumi jika pemberitaan tentang aktivitas Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dilakukan dengan proporsional. Namun, ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara berlebihan, hal itu justru terasa mengganggu.
            Salah satu buktinya adalah di portal berita online detik.com. Di sana dalam beberapa kesempatan saya melihat liputan tentang Jokowi dicantumkan subjudul Hari ke-sekian Jokowi. Padahal biasanya liputan khusus yang dilakukan media kepada pemimipin baru hanya dilakukan di hari ke-100 atau setelah satu tahun masa kepemimipinan. Hal itu menunjukan bagaimana istimewanya perlakuan media kepada Jokowi. Seolah Jokowi sudah menjadi “komoditas utama” media dalam meningkatkan rating dengan cara mengeskploitasi aktivitas kader PDIP itu secara berlebihan.
            Bukti lain yang semakin menguatkan Jokowi sebagai pejabat yang diselebkan adalah pemberitaan terhadapnya yang juga dilakukan oleh media infotainment. Apalagi jika aktivitas Jokowi yang bersangkut paut dengan dunia hiburan, seperti kegemarannya menonton konser band-band ternama luar negeri. Padahal kita tahu media infotainment bertugas untuk meliput aktivitas para selebiritis atau pelaku dunia hiburan. Hal itu juga semakin menunjukan bahwa ada upaya untuk menjadikan Jokowi sebagai pejabat yang nyeleb. Meskipun mungkin sebetulnya yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki keinginan ke arah itu.
            Tidak mengherankan jika kemudian dalam beberapa survei tentang popularitas Calon Presiden 2014, Jokowi selalu berada di urutan teratas. Kita tentu bangga bila Jokowi dikenal oleh masyarakat karena kinerja baiknya sebagai pemimpin atau pejabat publik. Tapi, menjadi sebuah ironi jika masyarakat mengenal Jokowi sebagai sosok pejabat yang gemar nonton konser karena pemberitaan terhadpnya yang sangat berlebihan.
            Di bagian penutup tulisan ini penulis secara khusus meminta kepada media agar melakukan pemberitaan terhadap Jokowi atau siapa pun secara proporsional. Jangan sampai esensi sepak terjang Jokowi yang memberikan teladan baik kepada pemimpin lain justru menjadi kabur karena pemberitaan yang lebay. Juga jangan sampai terjadi lagi ketika Jokowi blusukan, masyarakat bukannya memaparkan masalah yang sedang dialami ataupun tuntutan kesejahteraan yang ingin dicapai justru malah sibuk meminta bersalaman dan foto bersamanya. Itu juga sebuah ironni. Ingat, Joko Widodo adalah seorang Pemimpin Provinsi DKI Jakarta, bukan selebritis!
            
Tulisan ini juga dipost di http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/selebritisasi-pejabat-publik-594238.html