Senin, 04 November 2013

Paham Kebangsaan Menurut Hatta



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi


Mohammad Hatta, siapa yang tidak kenal tokoh yang satu ini. Beliau merupakan salah satu putra terbaik bangsa ini. Pengabdiannya bagi bangsa Indonesia baik itu selama perjuangan sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan sangatlah besar. Jasa-jasanya membuat harum namanya akan terus tercium sampai putra-putri bangsa di masa yang akan datang lahir. Semoga Allah Swt.memberikan tempat terbaik di alam mahsyar nanti untuk beliau.aamiinnn ya rabb.
Tulisan ini akan sedikit mengulas mengenai pemikiran Hatta yang dinukil dari buku biografi “Mohammad Hatta” yang ditulis oleh Salman Alfarizi dan juga relevansi bagi kehidupan kebangsaan saat ini.
Saat masa awal pergerakan kemerdekaan lewat organisasi-oraganisasi perjuangan kemerdekaan dimulai Mohammad Hatta gelisah akan landasan dan orientasi perjuangan dari organisasi-organisasi tersebut. Hatta merasa perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan tidak murni untuk kemaslahatan seluruh komponen bangsa. Dalam buku biografi Mohammad Hatta karya Salman Alfarizi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengamatan Hatta ada tiga macam kebangsaan yang berkembang pada zaman Hindia Belanda waktu itu. Ketiga macam paham kebangsaan itu ialah kebangsaan “cap ningrat”, kebangsaan “cap intelek”, dan kebangsaan “cap rakyat”. Ciri-ciri setiap paham kebangsaan itu ialah sebagai berikut:
Pertama, paham kebangsaan “cap ningrat” mengukur kebangsaan menurut golongan kaum bangsawan. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang akan/harus menjadi pemegang kekuasaan ketika kemerdekaan direbut. Menurut mereka itu sudah menjadi historisch recht (hukum sejarah). Karena tidak dipungkiri sejak zaman kerajaan maupun penjajahan Belanda kaum bangsawan selalu menjadi golongan yang memerintah.
Kedua, paham kebangsaan “cap intelek” hampir mirip dengan paham kebangsaan “cap ningrat”. Bedanya paham kebangsaan “cap intelek” menempatkan kaum-kaum intelektual lah yang harus diprioritaskan menjadi penguasa ketika Indonesia sudah merdeka. Mereka beranggapan bahwa bangsawan yang menjadi pemimpin bukanlah mereka yang bangsawan karena darah atau keturunan tetapi yang menjadi pemimpin adalah mereka yang bangsawan karena kecakapan dan kemampuan intelektual. Di dalam benak mereka rakyat diposisikan sebagai kaum bodoh, malas, miskin, dan suka menurut.  Sehingga mereka tidak layak untuk ikut campur mengurus negeri. Namun persamaan paham ini dengan paham kebangsaan “cap intelek” ialah sama-sama memperlakukan rakyat sebagai “perkakas” kaum intelek saja.
Ketiga, paham kebangsaan cap “rakyat”, paham inilah yang menurut Hatta harus dibangun karena menurut beliau rakyatlah badan dan jiwa bangsa. Rakyat juga lah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat suatu bangsa. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Sederhananya rakyatlah yang harus menjadi poros utama dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan negara. Dan pemimpin sejati adalah pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan lain.
Tentu dari ketiga paham yang dipaparkan paham ketiga lah yang paling ideal diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep kebangsaan “cap rakyat” atau kerakyatan hasil pemikiran Hatta itu tentu masih relevan untuk terus diaplikasikan oleh para pejabat publik saat ini. Karena memang sudah selayaknya kepentingan rakyat Indonesia haruslah ditempatkan di atas kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan. Rakyat haruslah selalu menjadi poros utama pembangunan bangsa. Seperti pernyataan yang disampaikan Anies Baswedan dalam berbagai kesempatan bahwa kekayaan terbesar bangsa Indonesia adalah manusianya (rakyat). Untuk itulah kunci memajukan Indonesia adalah pada pengembangan manusianya. Wallahualam bish shawab.

Sumber:
            Alfarizi, Salman. (2010). Mohammad Hatta. Yogyakarta: GARASI.

Tulisan ini juga diposting di: http://politik.kompasiana.com/2013/11/05/paham-kebangsaan-menurut-hatta-607856.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar