Jumat, 27 Juni 2014

Macan Asia ‘Galau’



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi

Aku selalu bilang bahwa dalam politik, musuh-musuhmu tak bisa melukaimu, tapi teman-temanmu akan membunuhmu” . Ann Richards (Pradiansyah, 2009: 9)
            Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi telah resmi diusung oleh PDIP Perjuangan sebagai calon Presiden 2014. Pengusungan tersebut tentunya mengakhiri spekulasi yang selama ini berkembang di masyarakat mengenai maju/tidaknya Jokowi menjadi capres di tahun 2014 ini. Karena walaupun popularitas dan elektabilitas Jokowi di dalam survei-survei selalu berada di posisi teratas, wacana pencalonannya tetap menuai pro-kontra dari masyarakat dikarenakan jabatan Gubernur DKI Jakarta yang saat ini ia pegang baru dijalankan selama 1,5 tahun.
            Pengusungan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP tidak pelak membuat partai-partai sekaligus calon jagoannya semakin pasang kuda-kuda. Karena tidak dapat dipungkiri, Jokowi yang saat ini sedang menjadi fenomena di masyarakat dianggap sebagai pesaing berat. Tak terkecuali bagi calon presiden dari Partai Gerindra yang juga diklaim sebagai macan asia, Prabowo Subianto.
            Pencalonan Jokowi tidak hanya membuat Prabowo pasang kuda-kuda, tetapi juga membuat dia dihinggapi rasa ‘galau’. Betapa tidak, dia merasa dikhianati oleh Megawati karena putri bung Karno tersebut lebih memilih Jokowi daripada dirinya. Padahal ketika pencapresan Jokowi masih sebatas wacana di media, kader-kader Gerindra merasa yakin bahwa Megawati dan PDIP tidak akan mungkin mengusung Jokowi sebagai Capres. Alasannya tidak lain karena PDIP dan Gerindra memiliki perjanjian di Batu Tulis Bogor yang disepakati tahun 2009 lalu yang salah satu klausulnya adalah Prabowo akan didukung oleh Megawati sebagai Capres di 2014. Klausul itu tercantum di poin ke 7 dari total 7 poin kesepakatan yang berbunyi “Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden tahun 2014”. Perjanjian tersebut dibuat pada tanggal 16 Mei 2009 dan ditandanganai di atas materai oleh Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto (sumber: www.okezone.com 18/03/2014).
            Kini nasi sudah menjadi bubur. Jokowi telah resmi dideklarasikan sebagai capres dari PDIP. Namun sepertinya Prabowo dan kader-kadernya dari Partai Gerindra tidak serta merta bisa menerima kenyataan tersebut. Mereka terlihat masih sangat kecewa karena PDIP dianggap tidak menepati janji sebagaimana mestinya. Kekecewaan tersebut diungkapkan dalam berbagai kesempatan baik itu disampaikan Prabowo secara langsung ataupun melalui kader-kader Partai Gerindra yang lain dengan cara sindiran atau pernyataan yang ditujukan langsung kepada Megawati dan PDIP.
            Salah satu ungkapan kekecewaan Prabowo dilakukan dengan cara menyindir Jokowi. Dalam sebuah kesempatan kepada media ia menyindir Jokowi sebagai pemimpin yang ingkar janji dan mencla-mencla karena sebelumnya sempat menampik akan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden. Tetapi pada kenyataannya saat ini ia ‘patuh’ kepada titah Megawati untuk diusung sebagai Calon Presiden dari PDIP.
            Kegalauan Prabowo ternyata menular juga ke kader-kadernya di Partai Gerindra. Mereka secara terus terang menagih janji PDIP untuk mengusung Prabowo sebagai Capres 2014 sesuai dengan perjanjian Batu Tulis yang telah disepakati. Namun sayangnya harapan itu bertepuk sebelah tangan, karena pihak PDIP menganggap perjanjian Batu Tulis sudah tidak lagi relevan. Menurut mereka perjanjian Batu Tulis akan dilaksanakan jika pada saat 2009 lalu Megawati-Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dan karena kenyataannya pasangan tersebut kalah, maka otomatis perjanjian Batu Tulis tidak lagi harus dilaksanakan.
Harus ‘Move On’
            Prabowo Subianto-sang macan asia- sebaiknya harus segera ‘move on’ dari bayang-bayang Megawati dan PDIP.  Apalagi saat ini proses Pemilu tengah memasuki masa kampanye pemilihan legislatif. Sudah seharusnya Prabowo berkonsentrasi penuh untuk menyukseskan Partai Gerindra agar meraih suara signifikan pada Pileg 9 April nanti. Jika itu berhasil maka saat penjajakan koalisi antar parpol dimulai Partai Gerindra memiliki daya tawar kuat untuk betul-betul mengusung Prabowo sebagai Capres. Adapun figur yang akan diajak untuk mendampingi Prabowo sebagai Cawapres nanti tentu harus dilihat terlebih dahulu dari konstelasi dan konfigurasi politik pasca Pemilihan Legislatif. Karena seperti kita ketahui berdasarkan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden syarat pengusungan Capres dan Cawapres adalah minimal 20 % perolahan kursi di DPR atau 25 % perolehan suara nasional. Artinya komposisi pasangan Capres dan Cawapres yang akan bertarung di Pilpres Juli nanti harus terlebih dahulu menanti hasil perolehan suara Pemilu Legislatif.
            Lantas mampukah sang macan asia ‘move on’ dari banteng PDIP Perjuangan? Kita lihat saja nanti. Karena dunia politik memiliki banyak kemungkinan yang tidak mudah untuk ditebak. Jika Prabowo dan mesin partai Gerindra bekerja maksimal dan meraih suara signifikan di Pileg, bukan tidak mungkin Prabowo akan mulus diusung sebagai Capres dari Partai Gerindra dengan berkoalisi bersama Partai yang lebih bisa dipegang komitmen kesetiaannya oleh mereka. Tapi tidak menutup kemungkinan juga jika Partai Gerindra tidak meraih suara signifikan di Pileg nanti Prabowo dan Partai Gerindra akan ‘rujuk’ kembali dengan PDIP. Karena seperti adagium politik yang sangat familiar bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
                                                                          


           
                                                                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar