Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
“Aku selalu
bilang bahwa dalam politik, musuh-musuhmu tak bisa melukaimu, tapi
teman-temanmu akan membunuhmu” . Ann Richards (Pradiansyah, 2009: 9)
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi telah resmi diusung oleh PDIP Perjuangan
sebagai calon Presiden 2014. Pengusungan tersebut tentunya mengakhiri spekulasi
yang selama ini berkembang di masyarakat mengenai maju/tidaknya Jokowi menjadi
capres di tahun 2014 ini. Karena walaupun popularitas dan elektabilitas Jokowi
di dalam survei-survei selalu berada di posisi teratas, wacana pencalonannya
tetap menuai pro-kontra dari masyarakat dikarenakan jabatan Gubernur DKI
Jakarta yang saat ini ia pegang baru dijalankan selama 1,5 tahun.
Pengusungan Jokowi sebagai calon
presiden dari PDIP tidak pelak membuat partai-partai sekaligus calon jagoannya
semakin pasang kuda-kuda. Karena tidak dapat dipungkiri, Jokowi yang saat ini
sedang menjadi fenomena di masyarakat dianggap sebagai pesaing berat. Tak
terkecuali bagi calon presiden dari Partai Gerindra yang juga diklaim sebagai
macan asia, Prabowo Subianto.
Pencalonan Jokowi tidak hanya
membuat Prabowo pasang kuda-kuda, tetapi juga membuat dia dihinggapi rasa
‘galau’. Betapa tidak, dia merasa dikhianati oleh Megawati karena putri bung
Karno tersebut lebih memilih Jokowi daripada dirinya. Padahal ketika
pencapresan Jokowi masih sebatas wacana di media, kader-kader Gerindra merasa
yakin bahwa Megawati dan PDIP tidak akan mungkin mengusung Jokowi sebagai Capres.
Alasannya tidak lain karena PDIP dan Gerindra memiliki perjanjian di Batu Tulis
Bogor yang disepakati tahun 2009 lalu yang salah satu klausulnya adalah Prabowo
akan didukung oleh Megawati sebagai Capres di 2014. Klausul itu tercantum di
poin ke 7 dari total 7 poin kesepakatan yang berbunyi “Megawati Soekarnoputri
mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden tahun 2014”.
Perjanjian tersebut dibuat pada tanggal 16 Mei 2009 dan ditandanganai di atas
materai oleh Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto (sumber: www.okezone.com
18/03/2014).
Kini nasi sudah menjadi bubur. Jokowi
telah resmi dideklarasikan sebagai capres dari PDIP. Namun sepertinya Prabowo
dan kader-kadernya dari Partai Gerindra tidak serta merta bisa menerima
kenyataan tersebut. Mereka terlihat masih sangat kecewa karena PDIP dianggap
tidak menepati janji sebagaimana mestinya. Kekecewaan tersebut diungkapkan
dalam berbagai kesempatan baik itu disampaikan Prabowo secara langsung ataupun
melalui kader-kader Partai Gerindra yang lain dengan cara sindiran atau
pernyataan yang ditujukan langsung kepada Megawati dan PDIP.
Salah satu ungkapan kekecewaan
Prabowo dilakukan dengan cara menyindir Jokowi. Dalam sebuah kesempatan kepada
media ia menyindir Jokowi sebagai pemimpin yang ingkar janji dan mencla-mencla
karena sebelumnya sempat menampik akan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden.
Tetapi pada kenyataannya saat ini ia ‘patuh’ kepada titah Megawati untuk
diusung sebagai Calon Presiden dari PDIP.
Kegalauan Prabowo ternyata menular
juga ke kader-kadernya di Partai Gerindra. Mereka secara terus terang menagih
janji PDIP untuk mengusung Prabowo sebagai Capres 2014 sesuai dengan perjanjian
Batu Tulis yang telah disepakati. Namun sayangnya harapan itu bertepuk sebelah
tangan, karena pihak PDIP menganggap perjanjian Batu Tulis sudah tidak lagi
relevan. Menurut mereka perjanjian Batu Tulis akan dilaksanakan jika pada saat
2009 lalu Megawati-Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. Dan karena kenyataannya pasangan tersebut kalah, maka otomatis
perjanjian Batu Tulis tidak lagi harus dilaksanakan.
Harus ‘Move On’
Prabowo Subianto-sang macan asia- sebaiknya
harus segera ‘move on’ dari
bayang-bayang Megawati dan PDIP. Apalagi
saat ini proses Pemilu tengah memasuki masa kampanye pemilihan legislatif.
Sudah seharusnya Prabowo berkonsentrasi penuh untuk menyukseskan Partai
Gerindra agar meraih suara signifikan pada Pileg 9 April nanti. Jika itu
berhasil maka saat penjajakan koalisi antar parpol dimulai Partai Gerindra
memiliki daya tawar kuat untuk betul-betul mengusung Prabowo sebagai Capres.
Adapun figur yang akan diajak untuk mendampingi Prabowo sebagai Cawapres nanti
tentu harus dilihat terlebih dahulu dari konstelasi dan konfigurasi politik
pasca Pemilihan Legislatif. Karena seperti kita ketahui berdasarkan Pasal 9 UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden syarat pengusungan Capres dan
Cawapres adalah minimal 20 % perolahan kursi di DPR atau 25 % perolehan suara
nasional. Artinya komposisi pasangan Capres dan Cawapres yang akan bertarung di
Pilpres Juli nanti harus terlebih dahulu menanti hasil perolehan suara Pemilu
Legislatif.
Lantas mampukah sang macan asia ‘move on’ dari banteng PDIP Perjuangan?
Kita lihat saja nanti. Karena dunia politik memiliki banyak kemungkinan yang
tidak mudah untuk ditebak. Jika Prabowo dan mesin partai Gerindra bekerja
maksimal dan meraih suara signifikan di Pileg, bukan tidak mungkin Prabowo akan
mulus diusung sebagai Capres dari Partai Gerindra dengan berkoalisi bersama
Partai yang lebih bisa dipegang komitmen kesetiaannya oleh mereka. Tapi tidak
menutup kemungkinan juga jika Partai Gerindra tidak meraih suara signifikan di
Pileg nanti Prabowo dan Partai Gerindra akan ‘rujuk’ kembali dengan PDIP.
Karena seperti adagium politik yang sangat familiar bahwa dalam politik tidak
ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar