Rabu, 31 Juli 2013

Tsunami Jokowi



Dalam teori perang Tsun Zun, salah satu faktor utama adalah mengenal musuh atau kompetitor. Dalam pemilu 2009, diluar semua faktor mesin politik, kerja caleg dan gerakan serangan darat yang dilakukan para kader, faktor utama yang sangat mempengaruhi pileg 2009 adalah SBY yang mengantarkan Demokrat jadi pemenang pemilu. Faktor ketokohan SBY dalam beberapa analisis memberi kontribusi 86 persen bagi kemenangan Demokrat.
Banyak analisis dilakukan terkait dengan Tsunami SBY setelah itu, yang mengemuka ada tiga hal yaitu:
Pertama, figure SBY sangat sulit ditandingi. Dalam beberapa kaidah political marketing, tokoh itu dilahirkan. David Axelord, mengatakan saat menilai Obama, “we found the man”. Kombinasi fisik yang good looking, karakter dan kejujuran serta  momentum yang pas menjadi rahim yang melahirkan tokoh. SBY dengan treatment yang tepat mampu menyapu kemenangan 2009.
Kedua, faktor masyarakat Indonesia yang rata-rata usia sekolah 7,5 tahun sangat memerlukan sosok figur yang menyederhanakan persepsi pemilih.
Ketiga, di negara maju pun faktor tokoh tetap memberi dampak utama. Kisah Obama, Tony Blair, Shintaro Abe sampai Angela Merkel menunjukan peran tokoh yang penting.
Bagaimana dengan 2014?
http://4.bp.blogspot.com/-IDzBOCHEWpk/UFw5srccFnI/AAAAAAAACco/KhwAN3toLrk/s320/jokowi.jpg
miraclekidx.blogspot.com
popularitas dan elektabilitas Jokowi terus ungguk disbanding yang lain. Dukungan scomed dan journalis citizens terus mengemuka. Beberapa keputusan Jokowi dianggap sesuai dengan harapan publik: transparansi anggaran, membuat tandingan PRJ dan ide memindahkannya ke Monas, rekruitmen terbuka untuk jabatan lurah dan camat serta kontroversi KJS. PDIP banyak menggunakannya dalam Pilkada.Potensi tsunami juga mungkin terjadi melalui tokoh Jokowi. Sejak terpilih menjadi Gubernur DKI,
  Ada anggapan citra Jokowi akan hilang karena masih lebih setahun menjelang pilpres. Tapi jika melihat almanac politik ke depan, tidak terdapat momen sebesar pilkada DKI. Ada pilkada Jatim, tapi nilai lokalnya leih tinggi daripada isu nasional. Pileg melulu mengemuka, urusan caleg dan mesin politik. karena itu peluang kompetitor Jokowi dalam survey tidak lebih dari 10 kandidat. Dan melahirkan kandidat instan dalam politik yang bising sangat kecil.
Apa pelajaran yang bisa diambil?
Menurut saya ada dua hal: pertama perlu usaha serius dan berbasis merit system melahirkan tokoh. Salah satu kandidat penantang Jokowi adalah Prabowo. Di 2009 lalu Prabowo hanya cawapres yang kalah. Tapi dengan ketekunan dan terus memelihara modal yang ada, kini hasil survwi menempatkannya di posisi dua.
Di 2004 ketokohan HNW setara SBY. Sayangnya modal sosial yang mahal tidak berlanjut. Setelah amanah ketua MPR tidak ada lagi panggung utama yang tersedia. Upaya memajukan HNW  di Pilkada DKI sulit mengisi gap yang ada.
Beberapa menteri yang berprestasi pun seperti mengulang nasib HNW. Nama Anton Apriantono sebagai peletak pondasi pertanian modern mulai hilang tak terdengar.
Kedua, hargai ruang public. Sakralitas ruang public perlu sekali kita jaga. Lagi-lagi rumus ruang publik sederhana: integritas. Sama kata dan perbuatan. Bagi public dasar kekuasaan adalah kepercayaan. Tingginya kepercayaan kepada Jokowi diantaranya janji KJS, transparansi anggaran, dan dana kelurahan serta pamong praja sebagai pelayan mulai diwujudkan.  

#Intan Kusuma Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar