Selasa, 06 Agustus 2013

Pemuda dan Pertanian




Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi

Indonesia mengimpor barang dari Singapur! Itulah berita yang saya baca di media online detik.com setelah selesai santap sahur tadi. Sungguh, berita itu membuat ending sahur ramadhan tahun ini membuat saya tidak happy. Di berita tersebut dipaparkan, menurut data Badan Pusat Statistik, Indonesia melakukan impor garam dari beberapa negara. Secara berurutan dari kuota impor terbesar negara-negara tersebut yaitu Australia, Jerman, Selandia Baru, dan Singapur. Saya yakin, semua masyarakat pasti terheran-heran. Ko bisa ya? Dari 4 negara tersebut, tidak ada satu pun yang luas lautnya lebih luas daripada Indonesia. Australia, Jerman, dan Selandia Baru mungkin masih bisa kita maklumi. Namun Singapur? Come on, It’s no bigger than Jakarta!
            Sebetulnya. Saya ingin mengingatkan diri saya terlebih dahulu dan juga para pembaca budiman. Kita harus memilih memberi respon positif terhadap berita ini. Hindari respon bernada pesimistis, mencela, atau keinginan untuk pindah warganegara, it’s lebay mannnn. Mengapa? Seperti kata Denny Indrayana, Indonesia Optimis. Ya, betul kita harus tetap optimis. Tidak akan ada sebuah kemajuan kalau kita tidak yakin maju. Seperti firman-NYA, “Aku sesuai prasangka hamba-KU”, artinya, kalau kita memilih respon negatif terhadap berita buruk ini, bukan tidak mungkin di masa depan kita akan lebih buruk lagi dari ini. wallahualam.
            Kembali ke topik. Kejadian semacam ini bukan kali pertama terjadi. Maksud saya, pengimporan kebutuhan pokok oleh negara kita bukan hanya garam saja. Beras dan bawang pun kita ngimpor juga. Aneh memang, negara jamrud khatulistiwa yang terkenal dengan tanah yang subur justru malah melakukan impor. Maka bekenlah istilah negeri salah urus. Dan selalu, yang menjadi tertuduh adalah PEMERINTAH.
            Saya sangat sepakat. Bahwa pemerintah memang pihak paling bertanggungjawab terhadap hal ini. Namun seperti peringatan saya di paragraf kedua, mari kita memilih respon positif. Kritik terhadap pemerintah memang tetap harus dilakukan. Tapi, tentunya kita harus mengimbanginya dengan ikut memikirkan solusi-solusi agar kedepannya hal-hal seperti ini tidak terus menerus terjadi.
Karena saya bukan pakar agararia dan juga bukan pakar bahari, tentu pembahasan solusi permasalahan ini tidak akan saya lakukan dengan mendetail.
Minim Regenerasi
            Ada sebuh komentar dari salah satu pembaca berita tersebut di kolom komentar berita. Intinya, dia mengingatkan anak muda agar mau menjadi petani agar pertanian Indonesia bisa maju. Well, statement itu cukup telak untuk menampar muka para pemuda, termasuk juga saya. Regenerasi petani tampaknya memang salah satu masalah utama kenapa pertanian kita seakan jalan di tempat. Pertanian yang semestinya menjadi andalan perekonomian negara masih belum bisa banyak berbicara. Sayangnya, sangat sedikit dari para pemuda selaku generasi penerus bangsa yang memiliki visi hidup di bidang pertanian.
            Sebuah penelitian yang sudah dilakukan dari tahun 70-an di pedesaan Indonesia oleh Guru besar emeritus dari institutes of Social Studies, Denhaag, Belanda menunjukan masa depan pertanian semakin terancam dengan berkurangnya minat pemuda untuk menjadi petani. Apalagi dalam pendidikan di sekolah para remaja tidak diajarkan untuk jadi petani, (sumber: ugm.ac.id).
            Rendahnya minat pemuda untuk bergelut di pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari masalah mindset pemuda terhadap profesi petani, anggapan kurang menjanjikannya dunia pertanian, dan pengarahan yang kurang dari lembaga pendidikan merupakan beberapa diantaranya. Tidak bisa dipungkiri pemikiran bekerja di perkantoran dengan memakai dasi, berjas, dan menempati ruangan ber-AC lebih nyaman dibanding dengan bekerja di tengah terik matahari, mencangkul, dan menebar pupuk. Pertanian pun dinilai kurang bisa menjanjikan akan kehidupan yang layak. Masih carut marutnya sistem distribusi hasil pertanian membuat para petani seringkali mendapatkan keuntungan yang tidak sepadan dengan kerja keras yang sudah dilakukan. Biang keroknya kita tahu para tengkulak. Terakhir, di lembaga pendidikan sangat jarang ada guru yang memberikan motivasi kepada para siswa untuk bercita-cita menjadi petani. Menjadi presiden, menteri, polisi, tentara, atau guru selalu mendapatkan apresiasi positif. Tetapi petani? Tidak ada, atau mungkin belum ada.
            Kita seakan lupa bahwa kelangsungan hidup kita sangat bergantung dari hasil pertanian. Nasi yang kita santap atau lauk pauk beserta bumbu-bumbu penyedapnya, semua itu tidak dihasilkan dari gedung-gedung perkantoran, tetapi dari lahan pertanian. Kalau 20-30 tahun ke depan regenerasi petani tidak mengalami perbaikan. Maka kedaulatan pangan kita terancam.
            Lantas, kalau sudah begitu apa yang harus kita lakukan wahai para pemuda?  
           
           
           
           
           
 

Tulisan ini juga dipost di: http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/07/pemuda-dan-pertanian-582745.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar