Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
Indonesia
mengimpor barang dari Singapur! Itulah berita yang saya baca di media online
detik.com setelah selesai santap sahur tadi. Sungguh, berita itu membuat ending sahur ramadhan tahun ini membuat
saya tidak happy. Di berita tersebut
dipaparkan, menurut data Badan Pusat Statistik, Indonesia melakukan impor garam
dari beberapa negara. Secara berurutan dari kuota impor terbesar negara-negara
tersebut yaitu Australia, Jerman, Selandia Baru, dan Singapur. Saya yakin,
semua masyarakat pasti terheran-heran. Ko bisa ya? Dari 4 negara tersebut,
tidak ada satu pun yang luas lautnya lebih luas daripada Indonesia. Australia,
Jerman, dan Selandia Baru mungkin masih bisa kita maklumi. Namun Singapur? Come on, It’s no bigger than Jakarta!
Sebetulnya. Saya ingin mengingatkan
diri saya terlebih dahulu dan juga para pembaca budiman. Kita harus memilih
memberi respon positif terhadap berita ini. Hindari respon bernada pesimistis,
mencela, atau keinginan untuk pindah warganegara, it’s lebay mannnn. Mengapa? Seperti kata Denny Indrayana, Indonesia
Optimis. Ya, betul kita harus tetap optimis. Tidak akan ada sebuah kemajuan
kalau kita tidak yakin maju. Seperti firman-NYA, “Aku sesuai prasangka
hamba-KU”, artinya, kalau kita memilih respon negatif terhadap berita buruk
ini, bukan tidak mungkin di masa depan kita akan lebih buruk lagi dari ini. wallahualam.
Kembali ke topik. Kejadian semacam
ini bukan kali pertama terjadi. Maksud saya, pengimporan kebutuhan pokok oleh
negara kita bukan hanya garam saja. Beras dan bawang pun kita ngimpor juga. Aneh memang, negara jamrud
khatulistiwa yang terkenal dengan tanah yang subur justru malah melakukan
impor. Maka bekenlah istilah negeri salah urus. Dan selalu, yang menjadi
tertuduh adalah PEMERINTAH.
Saya sangat sepakat. Bahwa
pemerintah memang pihak paling bertanggungjawab terhadap hal ini. Namun seperti
peringatan saya di paragraf kedua, mari kita memilih respon positif. Kritik
terhadap pemerintah memang tetap harus dilakukan. Tapi, tentunya kita harus
mengimbanginya dengan ikut memikirkan solusi-solusi agar kedepannya hal-hal
seperti ini tidak terus menerus terjadi.
Karena
saya bukan pakar agararia dan juga bukan pakar bahari, tentu pembahasan solusi
permasalahan ini tidak akan saya lakukan dengan mendetail.
Minim Regenerasi
Ada sebuh komentar dari salah satu
pembaca berita tersebut di kolom komentar berita. Intinya, dia mengingatkan
anak muda agar mau menjadi petani agar pertanian Indonesia bisa maju. Well, statement itu cukup telak untuk menampar muka para pemuda, termasuk
juga saya. Regenerasi petani tampaknya memang salah satu masalah utama kenapa
pertanian kita seakan jalan di tempat. Pertanian yang semestinya menjadi
andalan perekonomian negara masih belum bisa banyak berbicara. Sayangnya,
sangat sedikit dari para pemuda selaku generasi penerus bangsa yang memiliki
visi hidup di bidang pertanian.
Sebuah penelitian yang sudah
dilakukan dari tahun 70-an di pedesaan Indonesia oleh Guru besar emeritus dari
institutes of Social Studies, Denhaag, Belanda menunjukan masa depan pertanian
semakin terancam dengan berkurangnya minat pemuda untuk menjadi petani. Apalagi
dalam pendidikan di sekolah para remaja tidak diajarkan untuk jadi petani,
(sumber: ugm.ac.id).
Rendahnya minat pemuda untuk
bergelut di pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari masalah mindset pemuda terhadap profesi petani,
anggapan kurang menjanjikannya dunia pertanian, dan pengarahan yang kurang dari
lembaga pendidikan merupakan beberapa diantaranya. Tidak bisa dipungkiri
pemikiran bekerja di perkantoran dengan memakai dasi, berjas, dan menempati
ruangan ber-AC lebih nyaman dibanding dengan bekerja di tengah terik matahari,
mencangkul, dan menebar pupuk. Pertanian pun dinilai kurang bisa menjanjikan
akan kehidupan yang layak. Masih carut marutnya sistem distribusi hasil
pertanian membuat para petani seringkali mendapatkan keuntungan yang tidak
sepadan dengan kerja keras yang sudah dilakukan. Biang keroknya kita tahu para tengkulak.
Terakhir, di lembaga pendidikan sangat jarang ada guru yang memberikan motivasi
kepada para siswa untuk bercita-cita menjadi petani. Menjadi presiden, menteri,
polisi, tentara, atau guru selalu mendapatkan apresiasi positif. Tetapi petani?
Tidak ada, atau mungkin belum ada.
Kita seakan lupa bahwa kelangsungan
hidup kita sangat bergantung dari hasil pertanian. Nasi yang kita santap atau
lauk pauk beserta bumbu-bumbu penyedapnya, semua itu tidak dihasilkan dari
gedung-gedung perkantoran, tetapi dari lahan pertanian. Kalau 20-30 tahun ke
depan regenerasi petani tidak mengalami perbaikan. Maka kedaulatan pangan kita
terancam.
Lantas, kalau sudah begitu apa yang
harus kita lakukan wahai para pemuda?
Tulisan ini juga dipost di: http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/07/pemuda-dan-pertanian-582745.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar