Minggu, 18 November 2012

10 November Masih Ada !

Detak jantung terkeras menggebu dalam dada, menghentak langkah semangat untuk satu kata "Merdeka" bagi bangsa, saat kota Surabaya menjadi saksi bisu pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menjadi pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan canggih, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, yang diikuti pengerahan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir kota yang penuh gelora ini dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota dengan penggerak muda bernama Bung Tomo dan atas nama rasa cinta terhadap bangsa pendudukpun aktif memberi bantuan untuk menegakan dada Sang Garuda. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran api ini berimbas pada jatuhnya ribuan penduduk sipil yang menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka. Hari bersejarah ini dikenang oleh seluruh bangsa Indonesia dengan sebutan Hari Pahlawan.
Terkenang peristiwa ini dan terselip sedikit tanya mampukah kita berkorban untuk bangsa seperti para pahlawan itu? Darah mungkin bukan satu-satunya jawaban untuk pengorbanan kita sekarang, ada cara lain untuk berjuang. Prestasi, itulah hal yang harus kita raih untuk membanggakan tanah air yang penuh semangat dan kesucian ini. Kita tahu para muda-mudi yang mampu membanggakan Indonesia lewat perjuangan dan karyanya. Soedirman seorang guru yang rela merubah pena yang selalu dipegangnya menjadi senjata untuk mengusir para penajah, Kartini wanita yang seharusnya mampu hidup tenang, tapi lebih memilih untuk berjuang atas nama emansipasi wanita, Chairil Anwar yang membuat karya-karya cemerlang yang menjadi harta sastra Indonesia, juga Munir yang berjuang untuk kemanusiaan, dan masih banyak para pahlawan yang tidak hanya bertarung dimedan perang.
Betapa tidak terangkat bulu kuduk kita, saat melihat putra bangsa mampu memberikan prestasi yang memukau dikancah dunia. Badminton sepertinya telah melahirkan para pahlawan dengan prestasinya. Barcelona, betapa bangga saat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma mampu memberikan medali emas untuk sang Garuda, diikuti rekan sejawat dan juniornya seperti Rikcy Subagja, Markis Kido, Hendra Setiawan dan kemenangan prestisius Taufik Hidayat di Athena silam. Indonesia punya manusia hebat, dan seharusnya bukan hanya badminton yang bisa menunjukan tajinya dikancah dunia.
Kita punya sepak bola, harusnya ini adalah olahraga yang mampu membuat orang bahagia dan bangga menontonnya. tapi miris melihat kenyataan bahwa belum lepas dari miskinnya prestasi, supporter yang berulah dan paling memilukan saat sadar bahwa kita punya dualisme liga, yang harusnya tidak terjadi dinegara manapun yang mengaharapkan presatsi, rasanya para pejabat liga itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti efek apa yang terjadi akibat ulah yang mereka buat. Harusnya mereka bersatu untuk membuat Sang Saka berkibar dipuncak tertinggi, tapi "keserakahan" yang mereka junjung sehingga terlupa akan semangat persatuan dan kesatuan yang selalu dijunjung tinggi bangsa yang kaya ini.
Masih adakah semangat untuk berjuang menjadi pahlawan lewat olahraga terpopuler didunia ini?
Masih mampukah kita bangkit dan membenahi carut marut persepakbolaan bangsa ini?
Masih bisakah kita berdiri tegak untuk menyatukan bangsa dengan teriakan Goaaaaallll bersama?
Dengan semangat 10 November, Semoga saja kita mampu Bangkit dan jadi yang Terbaik !

(Alam Syah Pratama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar