Detak jantung terkeras
menggebu dalam dada, menghentak langkah semangat untuk satu kata
"Merdeka" bagi bangsa, saat kota Surabaya menjadi saksi bisu
pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan menjadi pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Indonesia yang menjadi simbol nasional
atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. 10 November pagi, tentara
Inggris mulai melancarkan serangan canggih, yang diawali dengan pengeboman
udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, yang diikuti pengerahan sekitar
30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris
kemudian membombardir kota yang penuh gelora ini dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi
Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota dengan penggerak muda bernama Bung
Tomo dan atas nama rasa cinta terhadap bangsa pendudukpun aktif memberi bantuan
untuk menegakan dada Sang Garuda. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran api
ini berimbas pada jatuhnya ribuan penduduk sipil yang menjadi korban dalam
serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka. Hari bersejarah ini dikenang
oleh seluruh bangsa Indonesia dengan sebutan Hari Pahlawan.
Terkenang peristiwa ini dan
terselip sedikit tanya mampukah kita berkorban untuk bangsa seperti para
pahlawan itu? Darah mungkin bukan satu-satunya jawaban untuk pengorbanan kita
sekarang, ada cara lain untuk berjuang. Prestasi, itulah hal yang harus kita
raih untuk membanggakan tanah air yang penuh semangat dan kesucian ini. Kita
tahu para muda-mudi yang mampu membanggakan Indonesia lewat perjuangan dan
karyanya. Soedirman seorang guru yang rela merubah pena yang selalu dipegangnya
menjadi senjata untuk mengusir para penajah, Kartini wanita yang seharusnya
mampu hidup tenang, tapi lebih memilih untuk berjuang atas nama emansipasi
wanita, Chairil Anwar yang membuat karya-karya cemerlang yang menjadi harta
sastra Indonesia, juga Munir yang berjuang untuk kemanusiaan, dan masih banyak para
pahlawan yang tidak hanya bertarung dimedan perang.
Betapa tidak terangkat bulu
kuduk kita, saat melihat putra bangsa mampu memberikan prestasi yang memukau
dikancah dunia. Badminton sepertinya telah melahirkan para pahlawan dengan
prestasinya. Barcelona, betapa bangga saat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma
mampu memberikan medali emas untuk sang Garuda, diikuti rekan sejawat dan
juniornya seperti Rikcy Subagja, Markis Kido, Hendra Setiawan dan kemenangan
prestisius Taufik Hidayat di Athena silam. Indonesia punya manusia hebat, dan
seharusnya bukan hanya badminton yang bisa menunjukan tajinya dikancah dunia.
Kita punya sepak bola,
harusnya ini adalah olahraga yang mampu membuat orang bahagia dan bangga
menontonnya. tapi miris melihat kenyataan bahwa belum lepas dari miskinnya
prestasi, supporter yang berulah dan paling memilukan saat sadar bahwa kita
punya dualisme liga, yang harusnya tidak terjadi dinegara manapun yang
mengaharapkan presatsi, rasanya para pejabat liga itu bukan orang bodoh yang
tidak mengerti efek apa yang terjadi akibat ulah yang mereka buat. Harusnya
mereka bersatu untuk membuat Sang Saka berkibar dipuncak tertinggi, tapi
"keserakahan" yang mereka junjung sehingga terlupa akan semangat
persatuan dan kesatuan yang selalu dijunjung tinggi bangsa yang kaya ini.
Masih adakah semangat untuk berjuang menjadi
pahlawan lewat olahraga terpopuler didunia ini?
Masih mampukah kita bangkit dan membenahi carut
marut persepakbolaan bangsa ini?
Masih bisakah kita berdiri tegak untuk menyatukan
bangsa dengan teriakan Goaaaaallll bersama?
Dengan semangat 10 November, Semoga saja kita
mampu Bangkit dan jadi yang Terbaik !
(Alam Syah Pratama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar