Oleh:
Mohamad Rian Ari Sandi
Salah satu hal yang paling sulit
sebagai seorang manusia adalah meredam naluri egois untuk menjadi orang yang
berada di puncak kemenangan. Tapi, bagi seorang pemimpin, tugasnya bukanlah
mencapai puncak dengan tangan dan kakinya sendiri, melainkan memastikan tim
meraih kemenangan dan semua anggota tim merasa mereka semua telah menjadi
pemenang. Ada sebuah kisa yang penulis ambil dari buku 25 Ways to Win With People karangan John C Maxwell tentang
pengorbanan seorang pemimpin meredam naluri egoisnya.
Pada 1984, Lou Whittaker memimpin
tim Amerika pertama untuk mendaki Puncak Everest. Setelah berbulan-bulan
berusaha mati-matian, lima anggota tim berhasil mencapai tempat perkemahan
terakhir pada ketinggian 8.230 meter di atas permukaan laut. Dengan sisa
ketinggian 610 meter lagi yang harus dicapai, Whittaker terpaksa membuat sebuah
keputusan sulit. Ia tahu betapa termotivasinya kelima pendaki yang ada untuk
berdiri di titik puncak tertinggi Bumi ini, tetapi, dua orang di antara mereka
harus kembali ke kamp terdahulu untuk mengambil persediaan makanan, air, dan
oksigen, dan kemudian kembali ke kamp yang sekarang. Setelah menyelesaikan
tugas, kedua pendaki itu akan berada dalam kondisi yang tidak layak untuk
melakukan pendakian. Pendaki lainnya harus tetap tinggal di kamp pada hari itu
untuk mempersiapkan pendakian terakhir.
Keputusan pertama yang harus dibuat
Whittaker adalah tetap tinggal di kamp 8.230 meter itu untuk melakukan
koordinasi kegiatan tim. Keputusan berikut adalah mengirim dua pendaki terkuat
untuk turun mencapai perbekalan, dan keputusan itulah yang lebih berat. Dua
pendaki yang lebih lemah akan beristirahat, memulihkan kekuatan mereka dan
mendapat kehormatan mendaki ke puncak.
Ketika ditanya mengapa ia sendiri
tidak melakukan pendakian ke puncak, jawabannya menunjukan pemahamannya akan
manusia dan kuatnya kepemimpinannya. Ia berkata, “Tugas saya adalah menempatkan
orang lain di puncak tertinggi”. Dan Maxwell berkomentar , “Whittaker mengerti
bahwa ketika orang membuat keputusan yang tepat untuk membantu tim, semua orang
akan menang”.
Kita bisa mengambil pelajaran dari
kisah tersebut. Bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sebuah keputusan
cepat dan tepat ditengah kondisi yang sangat sulit. Dia harus meredam
keegoisannya untuk menginjakan kakinya di puncak tertinggi, dan dia pun harus
memilih orang yang tepat untuk mengambil perbekalan agar semuanya tetap bisa
bertahan hidup sekaligus menentukan orang yang juga tepat untuk melakukan
pendakian terakhir ke puncak tertinggi. Tentu bukan hal mudah pula untuk
memilih orang yang harus turun membawa perbekalan, karena semua anggota tim
memiliki hasrat untuk mendaki ke puncak tertinggi. Di situlah seorang pemimpin
harus betul-betul bisa meyakinkan kepada anggota tim yang dipilih, bahwa untuk
memenangkan perjuangan yang sedang mereka lakukan harus ada pihak yang rela
berkorban. Karena pada akhirnya, kemenangan
bukan hanya milik dua pendaki yang melakukan pendakian terakhir, tetapi
kemenangan menjadi milik mereka semua. Jiwa pengorbanan sang pemimpin dan jiwa
pengorbanan dua orang yang turun membawa perbekalan “turut serta” menyatu
bersama jiwa dua pendaki yang melakukan pendakian terakhir untuk berdiri di
puncak tertinggi di bumi.
Manusia bisa duhancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan.
BalasHapus