Sabtu, 17 November 2012

Kontroversi Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 24 Tahun 2011


Terhitung sudah  hampir satu tahun sejak ditetapkannya UU BPJS  pada 25 November 2011, sepertinya undang-undang ini belum mendapat hati di masyarakat. Aksi penolakan terhadap undang-undang ini masih terus berlangsung hingga hari ini.
Undang-undang ini membahas tentang pemberian jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan kematian untuk para pekerja(karyawan/pegawai/buruh) yang bekerja kepada pemberi kerja(pengusaha). Sistem yang digunakan untuk pemberian jaminan ini adalah iuran dari pekerja dan sumbangan dana dari pemerintah. Lucunya jika pekerja telat membayar atau melanggar peraturan yang telah ditetapkan, maka pekerja akan dikenakan sanksi administratif dan denda uang. Apakah ini sebuah jaminan sosial? Sependek pengetahuan penulis sistem seperti ini (membayar iuran secara rutin dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh jaminan) lebih tepat dikatakan sebagai sebuah perusahaan waralaba yang bergerak dalam bidang jasa bernama asuransi.   Padahal jelas dikatakan dalam Pasal 4 poin (b) bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip nirlaba. Jika pada prakteknya pekerja harus membayar iuran rutin agar bisa memperoleh jaminan sosial, tentu satu poin dari prinsip diselenggarakannya BPJS telah gugur.
Menurut undang-undang ini, BPJS merupakan lembaga hasil merger dari empat perusahaan yang berada di bawah koordinasi Meneg BUMN, yaitu PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri, dan PT Taspen. Keempat perusahaan ini dilebur menjadi satu yakni BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Keempat perusahaan yang semula berada di bawah BUMN sekarang setelah dilebur menjadi BPJS pertanggungjawabanya langsung kepada presiden bukan lagi kepada Menteri BUMN.
Sejak awal dimunculkannya wacana akan dibentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 sebagai amanat konstitusi, sudah banyak pihak yang pro dan kontra. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 ini adalah ‘turunan’ dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pada tanggal 19 Oktober 2004, UU SJSN ini disahkan dan dalam  BAB III Pasal 5 disebutkan bahwa setelah dibentuk UU SJSN harus segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian undang-undang ini menjadi kontroversi terutama di kalangan buruh. Ini secara legalitas dapat dikatakan sebagai amanat konstitusi, karena selain disebutkan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, pembentukan sistem jaminan sosial juga telah lebih dulu dituangkan dalam konstitusi, yakni dalam pasal 34 UUD 1945.
Buruh menilai isi dari aturan dalam UU BPJS ini tidak berpihak kepada rakyat, sebagian besar isinya menguntungkan pihak asing. Ditambah pula dengan kewajiban mereka membayar iuran rutin. Yang jelas akan merugikan mereka. para pekerja menilai ini hanyalah akal-akalan pemerintah untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dengan menekan buruh. selain itu, pembuatan UU BPJS ini terkesan terburu-buru. Belum selesai kita dengan pelaksanaan SJSN, pemerintah telah membuat aturan baru, memerger emat perusahaan BUMN menjadi BPJS. Apakah ini sebuah usaha perebutan jabatan? Entahlah. apapun statement pemerintah yang keukeuh mempertahankan UU BPJS tetap ada, rakyat akan tetap menuntut untuk dilakukannya judicial review. Demi Indonesia yang mandiri, maju, dan sejahtera. (Intan KP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar