Sabtu, 17 November 2012

Kualifikasi Pendidikan Anggota Legislatif


Rasanya bukan perkara yang main-main. Mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Figur seorang wakil rakyat. Pembela rakyat, penampung aspirasi dan pejuang kepentingan rakyat. Bukan perkara mudah dan tidak bisa sembarang orang menjadi anggota dewan. Perlu sedikit melebihkan usaha dari orang lain kebanyakan. Terutama dalam kualifikasi pendidikan.
Pendidikan memang bukanlah jaminan bahwa seseorang akan memiliki kompetensi yang mumpuni. Juga bukan jaminan bahwa seseorang akan benar dalam menjalankan amanah, terlebih sebagai anggota dewan. Namun, pendidikan adalah hal yang utama. Katakanlah kita sebagai mahasiswa, kemudian kita menyampaikan pendapat di tengah sidang paripurna MPR atau dalam rapat dengar pendapat di kalangan dewan. Presentasi omongan kita akan didengar sangatlah kecil, mereka akan menganggap ucapan kita sebagai kicauan seorang ‘akitifis mahasiswa’ yang polos tak mengeti apa-apa dan dianggap lalu begitu saja. Lain halnya saat yang berbicara adalah hakim atau praktisi pendidikan yang eskalasi prestasi akademiknya tinggi. Mereka akan lebih didengar dan dipertimbangkan ucapannya meskipun apa yang mereka sama dengan apa yang kita ucapkan. Hemat kata seseorang dengan tingkat strata pendidikan lebih tinggi akan lebih didengar ucapan-ucapannya ketimbang orang dengan strata pendidikan tidak tinggi. Apalagi tingkat tinggi pendidikannya itu diimbangi dengan kapabilitasnya memimpin. Dia akan jauh lebih berpengaruh.
Mengapa saya menulis tentang kualifikasi pendidikan aleg? Hal ini didasarkan pada rasa ‘greget’ saya terhadap peraturan yang begitu longgar untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Bahkan saking longgarnya dan saking luwesnya hukum di negeri ini, seorang mantan narapidana koruptor saja bisa mencalonkan diri kembali menjadi pejabat publik, termasuk menjadi aleg.
Bukan maksud penulis untuk meminta pemerintah membuat rigid hukum positif yang telah berkalu kini. Namun, setidaknya dibuatlah sebuah draft atau konsep syarat-syarat seseorang bisa menjadi aleg. Dan persyaratan itu harus relevan, realistis, dan rapi. Relevan dalam artian jika seseorang hendak mendaftarkan dirinya sebagai aleg atau pejabat publik lainnya harus disesuaikan dengan strata pendidikan yang dimilikinya. Relaistis, artinya kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat membutuhkan wakil rakyat yang paham kondisi historis dan sosiologisnya. Misal, untuk di komisi X DPR RI, komisi tentang pendidikan, tempatkanlah orang yang kompeten agar kebijakan yang diambil pun selaras dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Yang ketiga harus rapi. Rapi di sini adalah rapid dan tertib dalam segala urusan pembuatan syarat, jangan sampai ada syarat-syarat yang multi tafsir.
Tentu kita tidak menampik, ada dari sekian banyak orang yang tidak berpendidikan tinggi yang memiliki moral jauh lebih mulia dari orang yang berpendidikan tinggi. Namun, kita juga tidak menampik, bahwasanya kualifikasi pendidikan saat ini menjadi tolak ukur pencalonan seseorang untuk maju menjadi aleg. Contoh, Partai Demokrat mulai pemilu 2014 mendatang akan menempatkan kader-kadernya dalam kursi DPR RI adalah  yang berpendidikan minimal   S2, untuk strata 1 akan ditempatkan di DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Partai lain pun mengamini sikap Demokrat, perlahan setiap partai politik mulai memilah kader-kadernya dari tingkat pendidikan sebelum diusung menjadi aleg. Beberapa parpol besar seperti Demokrat, Golkar, PKS, PDI-P, dan PAN mulai mempertimbangkan pendidikan sebagai salah satu standar diajukannya seseorang menjadi anggota legislatif. Indonesia sedang menuju tahap emasnya, lewat pendidikan yang kapabel anggota dewannya, bukan mustahil Indonesia emas 2050 bukanlah sekedar mimpi. Wallahu’alam. (Intan KP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar