Rasanya bukan perkara yang main-main.
Mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Figur seorang wakil rakyat. Pembela
rakyat, penampung aspirasi dan pejuang kepentingan rakyat. Bukan perkara mudah
dan tidak bisa sembarang orang menjadi anggota dewan. Perlu sedikit melebihkan
usaha dari orang lain kebanyakan. Terutama dalam kualifikasi pendidikan.
Pendidikan memang bukanlah jaminan
bahwa seseorang akan memiliki kompetensi yang mumpuni. Juga bukan jaminan bahwa
seseorang akan benar dalam menjalankan amanah, terlebih sebagai anggota dewan.
Namun, pendidikan adalah hal yang utama. Katakanlah kita sebagai mahasiswa,
kemudian kita menyampaikan pendapat di tengah sidang paripurna MPR atau dalam
rapat dengar pendapat di kalangan dewan. Presentasi omongan kita akan didengar
sangatlah kecil, mereka akan menganggap ucapan kita sebagai kicauan seorang
‘akitifis mahasiswa’ yang polos tak mengeti apa-apa dan dianggap lalu begitu
saja. Lain halnya saat yang berbicara adalah hakim atau praktisi pendidikan
yang eskalasi prestasi akademiknya tinggi. Mereka akan lebih didengar dan
dipertimbangkan ucapannya meskipun apa yang mereka sama dengan apa yang kita
ucapkan. Hemat kata seseorang dengan tingkat strata pendidikan lebih tinggi akan
lebih didengar ucapan-ucapannya ketimbang orang dengan strata pendidikan tidak
tinggi. Apalagi tingkat tinggi pendidikannya itu diimbangi dengan
kapabilitasnya memimpin. Dia akan jauh lebih berpengaruh.
Mengapa saya menulis tentang
kualifikasi pendidikan aleg? Hal ini didasarkan pada rasa ‘greget’ saya
terhadap peraturan yang begitu longgar untuk mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif. Bahkan saking longgarnya dan saking luwesnya hukum di negeri ini,
seorang mantan narapidana koruptor saja bisa mencalonkan diri kembali menjadi
pejabat publik, termasuk menjadi aleg.
Bukan maksud penulis untuk meminta
pemerintah membuat rigid hukum positif yang telah berkalu kini. Namun,
setidaknya dibuatlah sebuah draft atau konsep syarat-syarat seseorang bisa
menjadi aleg. Dan persyaratan itu harus relevan, realistis, dan rapi. Relevan
dalam artian jika seseorang hendak mendaftarkan dirinya sebagai aleg atau
pejabat publik lainnya harus disesuaikan dengan strata pendidikan yang
dimilikinya. Relaistis, artinya kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat membutuhkan wakil rakyat yang paham kondisi historis dan
sosiologisnya. Misal, untuk di komisi X DPR RI, komisi tentang pendidikan,
tempatkanlah orang yang kompeten agar kebijakan yang diambil pun selaras dengan
tujuan pendidikan itu sendiri. Yang ketiga harus rapi. Rapi di sini adalah
rapid dan tertib dalam segala urusan pembuatan syarat, jangan sampai ada
syarat-syarat yang multi tafsir.
Tentu kita tidak menampik, ada dari
sekian banyak orang yang tidak berpendidikan tinggi yang memiliki moral jauh
lebih mulia dari orang yang berpendidikan tinggi. Namun, kita juga tidak
menampik, bahwasanya kualifikasi pendidikan saat ini menjadi tolak ukur
pencalonan seseorang untuk maju menjadi aleg. Contoh, Partai Demokrat mulai
pemilu 2014 mendatang akan menempatkan kader-kadernya dalam kursi DPR RI
adalah yang berpendidikan minimal S2, untuk strata 1 akan ditempatkan di DPD
dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Partai lain pun mengamini sikap Demokrat,
perlahan setiap partai politik mulai memilah kader-kadernya dari tingkat
pendidikan sebelum diusung menjadi aleg. Beberapa parpol besar seperti
Demokrat, Golkar, PKS, PDI-P, dan PAN mulai mempertimbangkan pendidikan sebagai
salah satu standar diajukannya seseorang menjadi anggota legislatif. Indonesia
sedang menuju tahap emasnya, lewat pendidikan yang kapabel anggota dewannya,
bukan mustahil Indonesia emas 2050 bukanlah sekedar mimpi. Wallahu’alam. (Intan KP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar