(part #2)
Seperti apa Islam memandang perbedaan
mendasar antara demokrasi dan Islam tentang pemegang kekuasaan? Asas demokrasi
yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan sama sekali tidak
bertentangan dengan asas Islam yang mengatakan konstitusi tertinggi dipegang
oleh Allh (hakimiyatullah). Tetapi maksud bahwa kekuasaan tertinggi di tangan
rakyat adalah sebagai antitesiskekuasaan di tengah perorangan (diktator).
Jadi, tidak tepat mempertentangkan
antara hakimiyatullah dengan kekuasaan Allah. Para pelaku demokrasi pun tidak
bersikeras mempertentangkan dan mempersoalkan bahwa kekuasaan di tangan
syariat, tapi mereka menentang habis-habisan jika kekuasaan dipegang oleh
seorang penguasa yang tirani dan diktator. Konsep politik Islam sesuai dengan
prinsip demokrasi yang menentang kediktatoran dan tirani. Di dalam Al-Quran
disebutkan. “Sesungguhnya Fir’aun telah
berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah;
bila dia menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan (Al-Qashash: 4).”
Bahkan Al-Quran tidak hanya menentang
kediktatoran, tapi juga mencela masyarakat yang hanya mau mengekor kepemimpinan
para diktator. Itu artinya prinsip politik Islam, yaitu syura yang menentang
kediktatoran dapat masuk dalam sistem demokrasi yang sama-sama menentang
kediktatoran. Tapi orang masih sering salah paham terhadap konsep kekuasaan
konstitusi tertinggi ada di tangan Allah dengan cara mempertentangkannya dengan
demokrasi, yaitu dengan mengatakan ‘tidak ada hukum selain hukum Allah’.
Kalimat ini betuk, memang betul. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa itu adalah kalimat yang benar
akan tetapi sering dipahami denga cara yang salah dan penerapan yang sempit
pula. Lafalnya benar, karena Allah sendiri berfirman, “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah (Yusuf: 40).” Tapi
kemudian tidak berhenti sampai di situ, karena Ali mengkritiknya dan mengatakan
bahwa maksud mereka salah dalam memahami kalimat itu. Ali mengajarkan bahwa
ayat itu tidak menghalangi sama sekali terhadap seluruh usaha manusia dalam
berijtihad dalam menyeleseikan sebuah urusan, dengan alasan tidak hukum selain
hukum Allah. Sebab, hal-hal yang tidak jadi domain manusia hanyalah hal-hal
yang tsawabit. Sedangkan urusan sistem politik, seperti demokrasi adalah hal
yang berarti mutaghayyir dan tidak berarti bertentangan dengan hakimiyatullah.
Masih ada lagi hal lain yang sering
diperdebatkan yaitu sistem demokrasi yang menggunakan suara mayoritas. Mereka
mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem impor dari barat, yang tidak ada
ikatan sama sekali dengan Islam dan tidak boleh diterapkan di negara
berpenduduk muslim. Dalam demokrasi kebenaran adalah suara mayoritas, seperti
gay di Belanda yang legal karena konstitusi melindungi. Sedangkan dalam Islam ukurannya bukan pada jumlah
pendukung tapi pada esensi persoalan, apakah itu benar atau salah. Sebuah
argument yang didukung satu orang tetaplah benar jika argument itu benar
walaupun bertentangan dengan pendapat mayoritas.
Apakah seperti itu pertentangan yang
terjadi dalam kebenaran meyoritas? Apakah Islam sama sekali tidak mempunyai
konsep dalam kebenaran dan mayoritas? Dan apakah demokrasi tidak bisa digunakan
dalam penduduk yang mayoritas muslim karena ketidaksesuaian ini? To be
continued… (Intan KP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar