Senin, 26 November 2012

ISLAM DAN DEMOKRASI


(part #2)
Seperti apa Islam memandang perbedaan mendasar antara demokrasi dan Islam tentang pemegang kekuasaan? Asas demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan sama sekali tidak bertentangan dengan asas Islam yang mengatakan konstitusi tertinggi dipegang oleh Allh (hakimiyatullah). Tetapi maksud bahwa kekuasaan tertinggi di tangan rakyat adalah sebagai antitesiskekuasaan di tengah perorangan (diktator).
Jadi, tidak tepat mempertentangkan antara hakimiyatullah dengan kekuasaan Allah. Para pelaku demokrasi pun tidak bersikeras mempertentangkan dan mempersoalkan bahwa kekuasaan di tangan syariat, tapi mereka menentang habis-habisan jika kekuasaan dipegang oleh seorang penguasa yang tirani dan diktator. Konsep politik Islam sesuai dengan prinsip demokrasi yang menentang kediktatoran dan tirani. Di dalam Al-Quran disebutkan. “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah; bila dia menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (Al-Qashash: 4).”
Bahkan Al-Quran tidak hanya menentang kediktatoran, tapi juga mencela masyarakat yang hanya mau mengekor kepemimpinan para diktator. Itu artinya prinsip politik Islam, yaitu syura yang menentang kediktatoran dapat masuk dalam sistem demokrasi yang sama-sama menentang kediktatoran. Tapi orang masih sering salah paham terhadap konsep kekuasaan konstitusi tertinggi ada di tangan Allah dengan cara mempertentangkannya dengan demokrasi, yaitu dengan mengatakan ‘tidak ada hukum selain hukum Allah’. Kalimat ini betuk, memang betul. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib  mengatakan bahwa itu adalah kalimat yang benar akan tetapi sering dipahami denga cara yang salah dan penerapan yang sempit pula. Lafalnya benar, karena Allah sendiri berfirman, “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah (Yusuf: 40).” Tapi kemudian tidak berhenti sampai di situ, karena Ali mengkritiknya dan mengatakan bahwa maksud mereka salah dalam memahami kalimat itu. Ali mengajarkan bahwa ayat itu tidak menghalangi sama sekali terhadap seluruh usaha manusia dalam berijtihad dalam menyeleseikan sebuah urusan, dengan alasan tidak hukum selain hukum Allah. Sebab, hal-hal yang tidak jadi domain manusia hanyalah hal-hal yang tsawabit. Sedangkan urusan sistem politik, seperti demokrasi adalah hal yang berarti mutaghayyir dan tidak berarti bertentangan dengan hakimiyatullah.
Masih ada lagi hal lain yang sering diperdebatkan yaitu sistem demokrasi yang menggunakan suara mayoritas. Mereka mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem impor dari barat, yang tidak ada ikatan sama sekali dengan Islam dan tidak boleh diterapkan di negara berpenduduk muslim. Dalam demokrasi kebenaran adalah suara mayoritas, seperti gay di Belanda yang legal karena konstitusi melindungi. Sedangkan  dalam Islam ukurannya bukan pada jumlah pendukung tapi pada esensi persoalan, apakah itu benar atau salah. Sebuah argument yang didukung satu orang tetaplah benar jika argument itu benar walaupun bertentangan dengan pendapat mayoritas.
Apakah seperti itu pertentangan yang terjadi dalam kebenaran meyoritas? Apakah Islam sama sekali tidak mempunyai konsep dalam kebenaran dan mayoritas? Dan apakah demokrasi tidak bisa digunakan dalam penduduk yang mayoritas muslim karena ketidaksesuaian ini?  To be continued… (Intan KP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar