Indonesia
kembali dilanda kegaduhan politik, yang paling menonjol akhir-akhir ini adalah
yang diakibatkan oleh dua tokoh politik, Andi Alfian Mallarangeng dan Aceng HM
Fikri. Sepak terjang kedua tokoh ini menjadi sorotan publik. Andi ditetapkan
sebagai tersangkan kasus megaproyek Hambalang, sedangkan Aceng nikah siri
dengan wanita belia dan menceraikannya di hari keempat pernikahan melalui pesan
singkat (SMS).
Sebagai
public figure tak ayal apa yang terjadi kepada mereka menjadi sorotan publik,
mau tidak mau, suka tidak suka. Tapi lain Andi dan lain Aceng. Andi Alfian
Mallarangeng mendapatkan pujian dari masyarakat atas sikap gentle men nya yang
langsung mengundurkan diri sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ketika
mengetahui dirinya dicekal bepergian ke luar negeri sekaligus ditetapkan
sebagai tersangka. Sikap Andi dinilai sebagai contoh yang harus ditiru oleh
pejabat publik lainnya yang juga tersangkut masalah hukum. Padahal status Andi
barulah tersangka, belum sepenuhnya terbukti bersalah. Tapi karena merasa harus
mempertanggungjawabkan secara moral amanah yang diembannya, dan juga tidak mau
menghambat efektivitas Kabinet Indonesia Bersatu II, Andi memilih untuk
meletakan jabatannya. Sontak saja publik mengacungkan jempol atas sikap Andi.
Lalu
bagaimana dengan Aceng HM Fikri? Yang terjadi justru berbanding terbalik dengan
Andi Mallarangeng. Jika Andi mendapatkan apresiasi, maka Aceng malah makin
dicaci maki. Bukan saja atas perilakunya menikahi siri anak dibawah umur dan
menceraikannya di hari keempat pernikahan melalui pesan singkat, tapi juga
pernyataan-pernyataannya ketika diwawancara awak media di berbagai kesempatan
yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat publik. Tak pelak,
publik semakin dibuat geram atas perilaku dan perkataan-perkataan yang
dilontarkan Aceng. Gelombang protes warga Garut yang memintanya mundur dari
jabatannya sebagai Bupati Kabupaten Garut semakin besar. Namun Aceng tetap
bergeming, ia tidak mau begitu saja “menceraikan” jabatan yang tengah
diembannya.
Dua
tokoh, dua kasus, dan dua pertanggungjawaban yang berbeda, semestinya menjadi
sebuah pembelajaran politik yang harus bisa dimaknai secara arif oleh seluruh
masyarakat Indonesia termasuk juga elit-elit politik. Siapapun yang karena
posisi atau peran yang dimiliki menjadikannya sebagai public figure, haruslah
senantiasa memberikan contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat.
Tindak-tindak perilakunya akan senantiasa menjadi konsumsi publik, mau tidak
mau, dan suka tidak suka. Maka, sudah semestinya siapapun dia, harus selalu
memberikan teladan yang baik kepada masyarakat. Ketika berbuat salah, akui
secara gentle kesalahan tersebut dan bertanggungjawablah sebagai mana
seharusnya, setidaknya dengan begitu publik akan sedikit memberi pengampunan.
Namun ketika berbuat salah tidak mau mengaku salah, dan bahkan menambah
kesalahan, tentu publik akan semakin marah dan meluapkan kemarahannya dengan
berbagai bentuk.
sumber gambar: http://www.edueast.info/wp-content/uploads/2012/11/Andi-Mallarangeng.jpg
http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/12/09/di-rumah-sakit-keberadaan-aceng-terkesan-disembunyikan
(Mohamad Rian Ari Sandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar