Sabtu, 15 Desember 2012

Pancasila, Basah di Bibir Kering di Hati





“Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan Yang Dimpimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Lima, Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Itulah bunyi lima sila dari ideologi bangsa kita, Pancasila, yang rutin diucapkan oleh setidaknya para generasi penerus bangsa setiap upacara senin pagi. Ya, setiap senin pagi, bersahut-sahutan dari Sabang sampai Merauke, semuanya menyebutkan Pancasila. Tentu itu merupakan sebuah pemandangan yang mengharukan dan membanggakan, ideologi diucapkan secara rutin tiap satu minggu sekali dan saling bersahutan dari satu tempat ke tempat lain di seluruh penjuru negeri. Di negara lain belum tentu ada sebuah ideologi diucapkan secara bersama-sama dalam satu waktu.
Itu baru para pelajar sekolah dasar dan menengah, kata Pancasila beserta sila-silanya juga diucapkan oleh para Mahasiswa dalam diskusi kecil di kampus atau dalam demonstrasi, juga oleh pejabat dalam pidato-pidatonya, dalam seminar, sarasehan, mimbar bebas, kongres partai dan organisasi, talkshow televisi, dan lain-lainnya. Setiap ada diskusi tentang permasalahan bangsa, jawaban “kembali kepada Pancasila” seolah menjadi jawaban dan solusi paling tokcer. Setelah itu? Ya sudah. Kerumunan orang yang bercuap-cuap itu bubar kembali ke habitatnya masing-masing berbuat kerusakan di berbagai penjuru negeri. Pancasila seolah hanya ada ketika diskusi, seminar, dan talkshow.  Di luar itu Pancasila hanyalah seonggok pendamping hiasan burung garuda di dinding-dinding perkantoran atau gedung lembaga pendidikan.
Memang betul, berbagai permasalahan bangsa yang ada saat ini hanya bisa diselesaikan jika seluruh warga negara Indonesia kembali mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Statement tersebut seribu persen sangatlah betul. Tapi sayangnya, nilai-nilai pancasila selalu hanya basah di bibir, tapi kering kerontang di hati. Kita selalu mudah menyebut pancasila, tetapi selalu susah—atau bahkan—tidak memiliki itikad untuk mengamalkan nilai-nilai pancasila. Nilai-nilai pancasila tidak sepenuhnya diresapi dan dihayati di hati sanubari kita warga negara Indonesia. Maka yang terjadi kemudian, tindak-tinduk kita pun jauh dari nilai-nilai pancasila.
Kita selalu membusungkan dada dihadapan bangsa-bangsa lain di dunia bahwa kita memiliki ideologi pancasila, sebuah ideologi luar biasa yang hanya dimiliki oleh kita, bangsa Indonesia. Tapi sayangnya cukup sampai disitu. Kebanggaan kita terhadap pancasila tidak diikuti dengan kebanggaan kita untuk meresapi, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai pancasila secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak heran jika sampai saat ini bangsa ini masih saja berkutat dalam keterpurukan, hanya bisa melongo memandang negeri tetangga yang terus melesat maju.
Maka dari itulah, mulai sekarang sudah saatnya kita betul-betul resapi, hayati, dan amalkan nilai-nilai pancasila. Tidak hanya diucapkan dan dibangga-banggakan. Karena penulis yakin, para founding father kita sebagai perumus pancasila tidak akan cukup bangga melihat kita hanya membangga-banggakan pancasila tanpa mengamalkannya, tapi mereka akan sangat bangga bila kita mau meresapi, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena dengan mengamalkan nilai-nilai pancasila lah, segala permasalahan yang mengikat bangsa ini akan dengan mudah terlepas.
Kita ucapkan, kita hayati, kita amalkan!

Wallahu’alam.

(Mohamad Rian Ari Sandi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar