“Pancasila.
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga,
Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan Yang Dimpimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan. Lima, Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat
Indonesia”. Itulah bunyi lima sila dari ideologi bangsa kita, Pancasila, yang
rutin diucapkan oleh setidaknya para generasi penerus bangsa setiap upacara
senin pagi. Ya, setiap senin pagi, bersahut-sahutan dari Sabang sampai Merauke,
semuanya menyebutkan Pancasila. Tentu itu merupakan sebuah pemandangan yang
mengharukan dan membanggakan, ideologi diucapkan secara rutin tiap satu minggu
sekali dan saling bersahutan dari satu tempat ke tempat lain di seluruh penjuru
negeri. Di negara lain belum tentu ada sebuah ideologi diucapkan secara
bersama-sama dalam satu waktu.
Itu baru para
pelajar sekolah dasar dan menengah, kata Pancasila beserta sila-silanya juga
diucapkan oleh para Mahasiswa dalam diskusi kecil di kampus atau dalam
demonstrasi, juga oleh pejabat dalam pidato-pidatonya, dalam seminar,
sarasehan, mimbar bebas, kongres partai dan organisasi, talkshow televisi, dan
lain-lainnya. Setiap ada diskusi tentang permasalahan bangsa, jawaban “kembali
kepada Pancasila” seolah menjadi jawaban dan solusi paling tokcer. Setelah itu?
Ya sudah. Kerumunan orang yang bercuap-cuap itu bubar kembali ke habitatnya
masing-masing berbuat kerusakan di berbagai penjuru negeri. Pancasila seolah
hanya ada ketika diskusi, seminar, dan talkshow. Di luar itu Pancasila hanyalah seonggok
pendamping hiasan burung garuda di dinding-dinding perkantoran atau gedung
lembaga pendidikan.
Memang betul,
berbagai permasalahan bangsa yang ada saat ini hanya bisa diselesaikan jika
seluruh warga negara Indonesia kembali mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Statement tersebut seribu persen
sangatlah betul. Tapi sayangnya, nilai-nilai pancasila selalu hanya basah di
bibir, tapi kering kerontang di hati. Kita selalu mudah menyebut pancasila,
tetapi selalu susah—atau bahkan—tidak memiliki itikad untuk mengamalkan
nilai-nilai pancasila. Nilai-nilai pancasila tidak sepenuhnya diresapi dan
dihayati di hati sanubari kita warga negara Indonesia. Maka yang terjadi
kemudian, tindak-tinduk kita pun jauh dari nilai-nilai pancasila.
Kita selalu
membusungkan dada dihadapan bangsa-bangsa lain di dunia bahwa kita memiliki
ideologi pancasila, sebuah ideologi luar biasa yang hanya dimiliki oleh kita,
bangsa Indonesia. Tapi sayangnya cukup sampai disitu. Kebanggaan kita terhadap
pancasila tidak diikuti dengan kebanggaan kita untuk meresapi, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai pancasila secara konsisten dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tidak heran jika sampai saat ini bangsa ini masih saja berkutat
dalam keterpurukan, hanya bisa melongo memandang negeri tetangga yang terus
melesat maju.
Maka dari
itulah, mulai sekarang sudah saatnya kita betul-betul resapi, hayati, dan
amalkan nilai-nilai pancasila. Tidak hanya diucapkan dan dibangga-banggakan.
Karena penulis yakin, para founding
father kita sebagai perumus pancasila tidak akan cukup bangga melihat kita
hanya membangga-banggakan pancasila tanpa mengamalkannya, tapi mereka akan
sangat bangga bila kita mau meresapi, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena dengan mengamalkan
nilai-nilai pancasila lah, segala permasalahan yang mengikat bangsa ini akan
dengan mudah terlepas.
Kita ucapkan, kita hayati, kita
amalkan!
Wallahu’alam.
(Mohamad Rian Ari Sandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar