Senin, 31 Desember 2012

Indonesia Harus Tahu, Garut Bukan Hanya tentang Aceng



Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
            Di dalam menjalani kehidupan di dunia ini kita akan selalu dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang mau tidak mau membuat kita harus memilih jalan mana atau pilihan mana yang akan kita ambil. Apapun jalan dan pilihan yang kita ambil akan memberikan kita sebuah konsekuensi yang juga mau tidak mau harus kita hadapi. Konsekuensi tersebut harus bisa kita sikapi dengan baik, karena seringkali ketika kita tidak bisa dengan baik menyikapi konsekuensi dari jalan hidup kita, akan ada orang yang dirugikan, baik itu diri sendiri, keluarga, ataupun orang banyak.
            Sebagai seorang public figure yang tentunya dikenal oleh masyarakat luas segala tindak tanduknya akan selalu menjadi perhatian. Siapa saja yang akan menempuh jalan untuk menjadi public figure tentu sudah tahu resiko dan konsekuensi tersebut, entah itu dia sebagai artis, olahragawan, ataupun pejabat publik. Seorang Aceng Fikri yang saat ini menjabat sebagai Bupati Garut tentu pasti tahu konsekuensi yang akan ia peroleh ketika mencalonkan diri sebagai Bupati, tetapi tampaknya ia tidak betul-betul siap dengan konsekuensi yang akan ia dapatkan.
            Masyarakat Kabupaten Garut saat ini boleh dibilang menjadi korban dari ketidaksiapan mental Aceng Fikri dalam mengemban amanahnya sebagai Bupati. Kasus nikah sirinya dengan anak di bawah umur (FO) dan kemudian menceraikannya dalam usia pernikahan empat hari dan dilakukan hanya lewat pesan singkat begitu menggegerkan negeri ini. Kontan saja Aceng langsung menjadi buruan awak media untuk dimintai keterangan mengenai permasalahan tersebut. Semestinya kehadirannya di media bisa dimanfaatkan untuk sedikit menenangkan publik yang sedang gaduh dengan permintaan maafnya secara tulus dan memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh masyarakat. Namun yang dilakukan oleh Aceng justru sebaliknya, walaupun dia meminta maaf kepada seluruh masyarakat terutama masyarakat Garut melalui media, tetapi komentarnya ketika ditanya alasan kepada dia menceraikan istri mudanya tersebut dalam usia pernikahan yang baru berlangsung selama empat hari justru membuat masyarakat tambah geram. Rasanya tak perlu saya jelaskan seperti apa komentarnya, anda semua mungkin juga sudah tahu seperti apa komentar-komentar Aceng tersebut. Tapi kemudian keadaannya semakin tambah parah karena Aceng tidak juga legowo memenuhi tuntutan masyarakat Garut agar dia mau mundur dari jabatannya, bagaimanapun perangainya tersebut jelas sudah tidak mencerminkan seorang pejabat publik yang semestinya selalu menjaga wibawa. Padahal jika ia berbesar hati meletakan jabatannya, mungkin akan sedikit mendapatkan kompensasi ampunan dari publik.
            Setelah melalui proses politik dan hukum yang cukup panjang, nasib Aceng saat ini berada di tangan Mahkamah Agung. Beberapa waktu lalu hasil rapat paripurna DPRD Garut merekomendasikan pemakzulan Aceng kepada MA karena dianggap telah melanggar etika sumpah jabatan dan melanggar peraturan perundang-undangan no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
            Namun walaupun Aceng pada akhirnya nanti bisa dimakzulkan, rasanya tetap tidak cukup untuk memulihkan citra Garut dengan cepat. Kasus yang menyeretnya tersebut tentu tidak hanya membawa kenestapaan kepada Aceng sendiri juga keluarganya, tetapi masyarakat Garut yang teu boga salah nanaon pun harus ikut menanggung beban. Wajar saja jika kemudian masyarakat Garut sangat marah kepada Aceng, karena Garut yang merupakan salah satu tempat destinasi wisata di Jawa Barat dengan segala keindahan alam dan kreativitas masyarakatnya untuk sementara harus rela lebih terkenal sebagai Kabupaten yang pemimpinnya khilaf  tak bisa membendung gelora birahinya dengan baik. 
            Peristiwa satu minggu lalu ketika saya berkunjung ke Jogja bersama tiga orang kawan setidaknya bisa menjadi bukti. Ketika kami menyambangi Polresta Yogyakarta untuk menginap di musholla yang ada di sana, salah seorang petugas polisi bertanya dari mana kami berasal. Kami lalu menjawab berasal dari Bandung (karena kami semua kuliah di Bandung, walaupun hanya saya yang asli dari kabupaten Bandung). Mendengar nama Bandung disebut bapak yang tak sempat kami ingat namanya tersebut secara spontan menyahut “kirain dari Garut”. Saya kemudian menimpali bahwa diantara kami ada salah seorang warga asli Garut yakni Alam Syah Pratama (salah seorang personil di blog ini) sambil menunjuk ke arahnya. Mengetahui dia sedang dibicarakan Alam kemudian datang menghampiri dan disambut dengan celetukan dari pak polisi itu “wahh ini nih anak buahnya Aceng”, mendengar celetukan pak polisi tersebut kami berempat hanya menimpalinya dengan tertawa. Dalam benak saya waktu itu hanya terpikir bahwa kasus Aceng memang telah mendapatkan perhatian banyak orang, tidak hanya di Garut dan Jawa Barat, tetapi juga di seluruh Indonesia.
            Namun ketika akhir-akhir ini saya renungkan kembali peristiwa tersebut dan juga berbagai tanggapan dari masyarakat luas di seluruh Indonesia tentang kasus Aceng, saya menjadi prihatin. Nama Kabupaten Garut, dengan sekejap dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya, Garut terkenal bukan karena hal positif seperti keindahan alam dan tempat-tempat wisatanya tetapi justru karena hal negatif yaitu skandal pernikahan siri sang Bupati.
            Semoga kejadian yang menimpa Garut menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa terkadang hal-hal positif yang banyak kita miliki bisa  tertutupi oleh satu hal negatif yang kita lakukan, apalagi jika status kita sebagai public figure yang akan selalu mendapatkan perhatian dari khalayak umum. Keadaannya tambah rumit jika persnya seperti di Indonesia saat ini yang selalu menganggap “bad news is good news, akan mendatangkan banyak fulus”. Boleh jadi, pak polisi yang saya ceritakan di atas dan juga masyarakat lain pun sebelumnya belum pernah mendengar Garut, namun karena pemberitaan media tentang Aceng yang berlebihan dan tidak seimbang mereka akhirnya menjadi tahu tentang Garut, sebuah tempat dimana seorang Bupati berskandal berada. Tidak heran ketika seseorang atau sebuah kelompok melakukan sebuah kesalahan, pers begitu membabi buta memberitakan kesalahan tersebut dengan harapan mendongkrak rating. Dampaknya citra buruk tidak hanya melekat kepada pihak yang melakukan kesalahan, tetapi pihak-pihak yang memiliki kedekatan secara biologis, emosional, dan sosial dengan pihak yang melakukan kesalahan tersebut pun citranya ikut terpuruk walaupun tidak memiliki dosa apa-apa.
            Saya hanya ingin semua orang tahu, di seluruh wilayah Indonesia dan juga di dunia. Garut lebih dari sekedar seorang Aceng, karena Aceng hanyalah nila setitik di Garut. Dia manusia biasa yang tak pernah luput dari dosa, SEPERTI KITA SEMUA. Sudah sebaiknya kita berhenti untuk menghakimi Aceng, apalagi jika penghakiman itu juga diberikan kepada masyarakat Garut secara keseluruhan yang tak punya salah apa-apa. Dari sekarang anda harus melihat Garut dari sisi yang lain, karena anda akan melihat Garut sebagai kota yang penuh dengan pesona alam dan kreativitas masyarakatnya.
            Kabupaten Garut adalah salah satu tempat wisata favorit di Jawa Barat. Di sana ada komplek pemandian air panas, Situ Bagendit, Taman Satwa Cikembulan, Pantai Santolo, Candi Cangkuang, dan lain-lainnya. Garut juga terkenal dengan julukan Kota Intan, kemudian makanan khas Dodol dengan berbagai macam variasinya termasuk dodol campur coklat yang dikenal dengan chocodot, fashion berbahan dasar kulit, dan yang terakhir adalah domba yang kualitasnya sudah diakui dunia. Harusnya hal-hal itu yang diangkat oleh media ke permukaan, agar masyarakat tahu Garut yang sesungguhnya.
            Bukan apa-apa saya menulis artikel ini. Walaupun saya lahir di Bandung, tetapi bagi saya Garut punya ikatan emosional tersendiri. Bukan karena secara geografi Garut merupakan tetangga dekat Bandung, tetapi dari sejak kecil sampai sekarang Garut seringkali menjadi tempat bagi saya bersama keluarga ataupun teman-teman untuk melepas lelah dan kepenatan dari berbagai rutinitas dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di sana, Garut juga merupakan tempat dimana Ayah saya menuntut ilmu di sebuah pesantren dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, dan dari Garut jugalah sahabat terbaik saya Alam Syah Pratama dilahirkan.

Tulisan ini juga dimuat di http://politik.kompasiana.com/2012/12/31/indonesia-harus-tahu-garut-bukan-hanya-tentang-aceng-520344.html
           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar