Saat nanti orang
melewati kuburanku dan membaca nisanku, aku ingin orang berkata: “Inilah orang
yang mengukir sejarah dengan tinta emas”
Bukan persoalan kapan
kita meninggal. Karena setiap orang pasti meninggal. Tapi yang jadi soal adalah
bagaimana dan dalam keadaan apa kita meninggal. Apakah kita akan meniggal dalam
keadaan sedang shalat, sedang berdzikir, sedang tertawa, khusnul khatimah atau
su’ul khatimah (untuk su’ul khatimah naudzubillah).
Pernahkah terpikir
dalam benak sahabat semua tentang kita seandainya kita bisa melihat prosesi
pengurusan jenazah sendiri? Seandainya kita diberi kesempatan untuk menyaksikan
bagaimana jenazah kita dimandikan, dikafani, dikuburkan sampai akhirnya kita
ditinggal sendiri di dalam kubur yang gelap, apa yang akan kita rasakan? Sedih? Iya. Karena kita akan benar-benar
sendiri di tempat yang amat gelap. Tapi lebih dari itu, ada yang lebih ingin
saya tau sebenarnya saat kita diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat
prosesi penguburan jenazah sendiri. Apa yang dirasakan orang lain tatkala kita
pergi. Sedih, menangis, terharu, biasa saja, atau bahkan bersyukur atas
kepergian kita? Semua bergantung pada perilaku keseharian kita selama kita
hidup. Jika kita adalah orang yang menyenangkan dan tidak membuat orang tidak
nyaman dengan kita dan kita jarang membuat masalah dengan orang lain, maka
bukan tidak mungkin kita akan dikenang sebagia orang yang baik. Namun jika
selama kita hidup kita sering membuat hati orang lain terluka, mempermainkan
orang lain dan berbuat seenak perut hingga membuat orang lain terdzalimi, maka
bukan tidak mungkin pula kita akan dikenang sebagai orang yang sering berbuat
dosa. Naudzubillah.
Ingin seperti apa
kita dikenang orang saat nyawa telah terpisah dari raga? Orang shaleh, baik,
pemurah, tawadhu? Tinggal pilih mau yang mana, asal ikhlas. Karena syarat
benarnya suatu amal adalah jika ikhlas dan benar. Untuk berbuat sesuatu amalan
lurus sajalah, jangan pikirkan efek dulu. Beramal, lupakan. Beramal, lupakan.
Jangan diingat-ingat amal baik yang telah kita perbuat. Biarlah Allah yang
memberi reward kelak. Kita hanya berusaha sebaik mungkin menjalani amanah,
yaitu titipan harta dan jiwa.
Jikalau kita diberi
waktu oleh Sang Maha Pemurah untuk menyaksikan proses pengurusan jenazah kita sendiri,
maka hati akan berdesir melihat sosok hina tak berdaya ini tak mampu berbuat
apa-apa. Semua diserahkan pada para pengurus jenazah. Dulu kita yang sombong dan selalu bangga
dengan kekuatan sendiri, kini saat tak bernyawa kita tak mampu berbuat apa-apa
selain pasrah pada keadaan yang memaksa kita untuk tunduk dan patuh pada orang
lain yang masih hidup. Dulu mungkin kita sering mebicarakan keburukan orang
lain sampai akhirnya orang lain sakit hati. Kini mulut pun terkunci tak bisa
berucap satu katapun. Mata terpejam dan tak bisa melakukan apapun. Itu kita.
Saat nanti maut menjemput dan jiwa menghadap sang Khaliq.
Jika kita yang
meninggal lebih dulu dan orang tua kita belum, lalu kita menyaksikan orang tua
kita menangis di samping jenazah kita, apa yang kamu rasakan?
Saat kita
menyaksikan, orang-orang membaca surat Yasiin untuk mengiringi kepergian kita
dengan untaian doa, apa yang kamu rasakan?
Saat kita tengkok di
sudut rumah yang lain, adik-adik kita membicarakan dan mengenang kita selama
kita hidup, bagaimana perasaanmu sebagai kakak? Adik-adikmu kini kehilangan
satu sosok teladan baiknya.
Kita tengok lagi sisi
rumah di sudut yang lain, keluargamu, paman, bibi, sepupu, semua menangisi
kepergianmu, kamu akan bagaimana?
Saat semua orang
bersedih atas kepergianmu, ternyata di halaman rumahmu, ada orang yang itu
adalah temanmu, yang membicarakan keburukanmu, apakah kamu pernah menyakiti
hati temanmu itu hingga ia belum rela memaafkanmu? Taubatmu terlambat.
Sobat, dari sekarang
silahkan renungkan kembali mau kemana nahkoda hidupmu dikendalikan, apa yang
kau tuju dank au cari di dunia ini sebenarnya? Manusia yang paling cerdas adalah manusia yang
mengingat mati. Kebiasaan dan keseharian kita akan menetukan sakaratul maut
kita. Jadi ciptakanlah kebiasaan-kebiasaan baik agar kita juga mengakhiri hidup
dengan baik pula. Wallahu’alam bi shawab. (Intan KP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar