“Ayah, yang aku yakini hingga saat ini
adalah hati yang selalu mencintai meski belum pernah bertemu. Karena aku telah
sayang padamu, jauh sebelum mata ini memandangmu…” (AdzS_070104)
*
* *
Sebuah
cerita dari negeri kaya dan hijau…
Saat
itu usianya masih 5 tahun, ia senang bermain, terutama play station. Saking
asiknya,ia tak jarang mengabaikan perintah orang tua, baik itu menyuruhnya
shalat, makan, atau sekedar beristirahat dari bermain game. Namun, saat itu ibu
dan ayahnya memaklumi, mungkin usia anaknya saat itu masih 5 tahun.
Kini,
ia berusia 9 tahun, sudah kelas 4 SD. Namun, tak ada perubahan perilaku dia
menuju perbaikan. Sang anak semakin menggila pada berbagai jenis permainan IT.
Sang ibu mulai cemas juga kesal atas polah anaknya sehari-hari yang menggeluti
komputer dan televisi saja, seolah tak punya tugas sekolah. Begitupun ayah anak
itu, sama khawatirnya dengan ibu si anak, namun ia mencoba menata hati agar tak
marah pada jagoan ciliknya. Sungguh kau beruntung mendapat ayah dan ibu yang
lembut.
Sayang
orang tua tak selamanya diekspresikan dengan kelembutan, perlu sesekali
ketegasan agar anak berpikir dan dewasa. Itu jugalah yang disadari oleh ayah
dan ibu anak ini ketika sang anak menginjak usia 13 tahun. Mereka mencoba mendidik
anaknya dengan metode yang tidak otoriter namun bisa membuat anak berkembang.
“halo jagoan ayah, kamu sudah shalat?”
“belum
yah, bentar lagi…” sama sekali tak ada nada kesungguhan dari sang anak untuk
mendirikan shalat.
“ayo
kita berjamaah, sudah lama nih kita ga berjamaah, ayo!” kata sang ayah
mengajak.
“ayaaah,
kenapa shalat lagi, shalat lagi. Shalat terus yang diurusin, aku pusing Yah
dengar ocehan ayah yang itu-itu mulu, ayah gak lihat nih aku lagi main game
baru?”
Ayah
hanya tersenyum bijak, dan dengan lembut membelai anaknya seraya berkata, “nak,
besok ayah ditugaskan menjaga perbatasan negara kita bersama beberapa puluh
orang lain di Kalimantan, sebelum ayah berangkat kamu mau kan kita shaalt
berjamaah dulu? Ayah takut kangen sama kamu…”
“apa?
Ayah mau ke Kalimanatan?” suara sang anak sedikit melunak dan lembut menatap
sang ayah, kemudian melanjutkan, “aku akan merindukan ayah, berapa lama ayah di
sana?”
“ayah
tidak tahu, tapi ayah titip ibu ya, kamu harus jadi jagoan yang bisa
membanggakan ayah dan ibu, ayah ingin melihat kamu menjadi sarjana.” Mata ayah
berkaca, seolah hendak berpisah lama. “ayah tunggu kamu di mushola ya, kita
shalat sekarang, ayo jangan lama-lama.” Ayah beranjak pergi dan mengambil
wudhu.
Sang
anak masih duduk memandang game di depannya dengan tatapan yang tidak terfokus.
***
Esok
paginya, saat sang anak terbangun, ia tek menemukan ayahnya. Ia bertanya pada
ibunya, dan ibunya mengatakan bahwa “ayah sudah berangkat nak tadi jam 4 saat
kamu masih tidur. Ayah titip salam buat kamu.”
“kenapa
ibu ga bangunin aku? Aku belum sempat salam pada ayah…”
“ayah
bilang, tidak mau mengganggu istirahatmu. Sudah ya nak, sekarang ambil air
wudhu gih, segera shalat subuh yaa.”
Anak
itu hanya bergumam dalam hati “aku takut berpisah dengan ayah…”
Seminggu
setelah itu, ada kabar yang mengatakan bahwa telah terjadi kerusuhan di lokasi
tempat ayah anak itu bertugas, dan menjatuhkan korban jiwa. Salah satu korban
tewa keurushan di sana adalah ayah sang anak.
Mendengar
berita itu, sang ibu (istri dari korban) pingsan dan anak menangis. Ia teringat
kenangan bersama ayahnya yang selalu sabar dan tenang. Terlebih saat ia temukan
di sudut kamar orang tuanya sebuah kado untuk ulang tahunnya yang ke 14, begitu
ia buka ternyata sebuah Al-Quran. Di situ tertulis surat ucapan dari ayah yang
berisi:
“A.D anak ayah yang paling hebat,
selamat ulang tahun , semoga kamu senang dengan kado ayah. Maaf ayah tak bisa
memberi apa yang lebih dari ini, ayah ingin kamu menjadi orang yang sering
membaca ini (Quran) agar kelak bisa menolong ayah dan ibu. Ayah juga mau
meminta maaf, karena ayah tidak ada di samping A.D. di hari ulang tahun A.D.
karena ayah tidak bisa menolak tugas negara. Semoga A.D. senang, ayah yakin
A.D. akan menjadi orang sukses. Sekali lagi selamat ulang tahun A.D. salam
sayang dari ayah.”
Ia
menangis dan melipat surat. Ia kepalkan tangan dan bertekad mewujudkan
mimpi-mimpi ia dan ayahnya.
***
Kini
ia berusia 22 tahun dan sudah menjadi sarjana. Bersama sang ibu, ia berfoto
mengenakan toga yang begitu gagah berkata bahwa ia berhasil mewujudkan mimpi
yang selama ini ia idamkan. Tak hanya soal toga, tapi karena perjuangan meraih
semua yang tidak mudah. Termasuk bangkit
dari keterpurukan untuk mewujudkan mimipi sang ayah.
“Ayah,
lihatlah sekarang aku sudah menjadi sarjana, ini adalah kado untukmu ayah…”
(Intan
KP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar