Sabtu, 05 Januari 2013

KADO TERAKHIR UNTUK AYAH

“Ayah, yang aku yakini hingga saat ini adalah hati yang selalu mencintai meski belum pernah bertemu. Karena aku telah sayang padamu, jauh sebelum mata ini memandangmu…” (AdzS_070104)
* * *
Sebuah cerita dari negeri kaya dan hijau…
Saat itu usianya masih 5 tahun, ia senang bermain, terutama play station. Saking asiknya,ia tak jarang mengabaikan perintah orang tua, baik itu menyuruhnya shalat, makan, atau sekedar beristirahat dari bermain game. Namun, saat itu ibu dan ayahnya memaklumi, mungkin usia anaknya saat itu masih 5 tahun.
Kini, ia berusia 9 tahun, sudah kelas 4 SD. Namun, tak ada perubahan perilaku dia menuju perbaikan. Sang anak semakin menggila pada berbagai jenis permainan IT. Sang ibu mulai cemas juga kesal atas polah anaknya sehari-hari yang menggeluti komputer dan televisi saja, seolah tak punya tugas sekolah. Begitupun ayah anak itu, sama khawatirnya dengan ibu si anak, namun ia mencoba menata hati agar tak marah pada jagoan ciliknya. Sungguh kau beruntung mendapat ayah dan ibu yang lembut.
Sayang orang tua tak selamanya diekspresikan dengan kelembutan, perlu sesekali ketegasan agar anak berpikir dan dewasa. Itu jugalah yang disadari oleh ayah dan ibu anak ini ketika sang anak menginjak usia 13 tahun. Mereka mencoba mendidik anaknya dengan metode yang tidak otoriter namun bisa membuat anak berkembang. “halo jagoan ayah, kamu sudah shalat?”
“belum yah, bentar lagi…” sama sekali tak ada nada kesungguhan dari sang anak untuk mendirikan shalat.
“ayo kita berjamaah, sudah lama nih kita ga berjamaah, ayo!” kata sang ayah mengajak.
“ayaaah, kenapa shalat lagi, shalat lagi. Shalat terus yang diurusin, aku pusing Yah dengar ocehan ayah yang itu-itu mulu, ayah gak lihat nih aku lagi main game baru?”
Ayah hanya tersenyum bijak, dan dengan lembut membelai anaknya seraya berkata, “nak, besok ayah ditugaskan menjaga perbatasan negara kita bersama beberapa puluh orang lain di Kalimantan, sebelum ayah berangkat kamu mau kan kita shaalt berjamaah dulu? Ayah takut kangen sama kamu…”
“apa? Ayah mau ke Kalimanatan?” suara sang anak sedikit melunak dan lembut menatap sang ayah, kemudian melanjutkan, “aku akan merindukan ayah, berapa lama ayah di sana?”
“ayah tidak tahu, tapi ayah titip ibu ya, kamu harus jadi jagoan yang bisa membanggakan ayah dan ibu, ayah ingin melihat kamu menjadi sarjana.” Mata ayah berkaca, seolah hendak berpisah lama. “ayah tunggu kamu di mushola ya, kita shalat sekarang, ayo jangan lama-lama.” Ayah beranjak pergi dan mengambil wudhu.
Sang anak masih duduk memandang game di depannya dengan tatapan yang tidak terfokus.
***
Esok paginya, saat sang anak terbangun, ia tek menemukan ayahnya. Ia bertanya pada ibunya, dan ibunya mengatakan bahwa “ayah sudah berangkat nak tadi jam 4 saat kamu masih tidur. Ayah titip salam buat kamu.”
“kenapa ibu ga bangunin aku? Aku belum sempat salam pada ayah…”
“ayah bilang, tidak mau mengganggu istirahatmu. Sudah ya nak, sekarang ambil air wudhu gih, segera shalat subuh yaa.”
Anak itu hanya bergumam dalam hati “aku takut berpisah dengan ayah…”
Seminggu setelah itu, ada kabar yang mengatakan bahwa telah terjadi kerusuhan di lokasi tempat ayah anak itu bertugas, dan menjatuhkan korban jiwa. Salah satu korban tewa keurushan di sana adalah ayah sang anak.
Mendengar berita itu, sang ibu (istri dari korban) pingsan dan anak menangis. Ia teringat kenangan bersama ayahnya yang selalu sabar dan tenang. Terlebih saat ia temukan di sudut kamar orang tuanya sebuah kado untuk ulang tahunnya yang ke 14, begitu ia buka ternyata sebuah Al-Quran. Di situ tertulis surat ucapan dari ayah yang berisi:
“A.D anak ayah yang paling hebat, selamat ulang tahun , semoga kamu senang dengan kado ayah. Maaf ayah tak bisa memberi apa yang lebih dari ini, ayah ingin kamu menjadi orang yang sering membaca ini (Quran) agar kelak bisa menolong ayah dan ibu. Ayah juga mau meminta maaf, karena ayah tidak ada di samping A.D. di hari ulang tahun A.D. karena ayah tidak bisa menolak tugas negara. Semoga A.D. senang, ayah yakin A.D. akan menjadi orang sukses. Sekali lagi selamat ulang tahun A.D. salam sayang dari ayah.”
Ia menangis dan melipat surat. Ia kepalkan tangan dan bertekad mewujudkan mimpi-mimpi ia dan ayahnya.
***

Kini ia berusia 22 tahun dan sudah menjadi sarjana. Bersama sang ibu, ia berfoto mengenakan toga yang begitu gagah berkata bahwa ia berhasil mewujudkan mimpi yang selama ini ia idamkan. Tak hanya soal toga, tapi karena perjuangan meraih semua yang tidak  mudah. Termasuk bangkit dari keterpurukan untuk mewujudkan mimipi sang ayah. 
“Ayah, lihatlah sekarang aku sudah menjadi sarjana, ini adalah kado untukmu ayah…”
(Intan KP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar