BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menikah adalah kebutuhan, jika
dipandang dari aspek biologis. Lewat cara menikah seseorang akan terhindarkan
dari berbagai hal yang meusak. Hal yang awalnya haram akan menjadi halal
sehingga tidak ada lagi kemudharatan. Lain hal jika tidak menikah, maka
seseorang akan dikejar perasaan takut dan bersalah dalam menjalin hubungan
(pacaran), karena walau bagaimanapun hubungan bernama pacaran tidak bisa
dibenarkan dalam syariat. Karena pacaran itu bisa berakibat pada dosa, dan dosa
adalah suatau hal yang jika orang lain tahu kita tidak senang. Maka seseorang
yang terlalu memaksakan tetap terjalinnya suatu hubungan dekat sebelum nikah
antar lawan jenis tidak akan tenang, karena pacaran itu mendekati zina,
mendekatinya saja sudah tidak boleh apalagi melakukannya.
Salah satu tujuan menikah adalah untuk
mempertahankan keturunan dan generasi, terlebih sebagai seorang muslim kita
tidak boleh sampai memutuskan estafeta da’wah hanya sampai di kita, harus
diteruskan. Untuk itulah Allah mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah
ini, agar manusia bisa menyalurkan naluri seksnya pada koridor yang tidak sama
dengan binatang.
Saat seseorang bersama pasangnnya telah
membina senuah keluarga, tentu ingin menjadikan keluarganya tersebut menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Untuk mencapai tujuan tersebut
tentu harus ada cara yang ditempuh agar konflik dalam rumah tangga dapat
diredam seiiring dengan bertambahnya usia pernikahan. Biasanya konflik yang
mucul dalam keluarga adalah salah satunya tentang warisan. Pembagian warisan
tak sangat sensitive dan mudah sekali menyulut api pertengkaran. Oleh sebab itu
kajian tentang pernikahan dan waris sangat menarik untuk dibahas.
B. Rumusan
Masalah
Sebagai seorang yang menyatakan diri
berafiliasi pada Islam, maka harus meneirma berbagai konsekuensi dari
pilihannya menganut Islam. Salah satunya mengenai penetapan hubungan laki-laki
dan perempuan dalam satu ikatan pernikahan serta tata cara pembagian waris.
Seperti apakah pelaksanaan pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat di Ciamis,
apakah menerapkan syariat Islam atau adat? Bagaimana dengan pembagian waris itu
sendiri di masyarakat? Apakah pembagian dilakukan menurut hukum Islam, negara,
adat atau kekeluargaan? Untuk memudahkan analisis, pernyataan tadi penulis
tuangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1.
Seperti
apa pelaksanaan pernikahan di tengah-tengah di daerah Ciamis?
2.
Bagaimana
pembagian waris di masyarakat Sodonghilir, Tasikmalaya?
Selanjutnya, rumusan-rumusan masalah
tadi akan dijadikan fokus pembahasan penulis dalam tugas ini.
C. Tujuan
Tujuan umum dari dari disusunnya tugas
ini adalah untuk mengetahui penerapan hukum-hukum Islam di masyarakat. Selain itu,
adapun tujuan khusus yang ingin dicapai penulis dari penyusunan tugas ini
adalah unutk hal-hal sebagai berikut.
1.
Mengetahui
tata cara pelaksanaan pernikahan di Daerah Ciamis.
2.
Mengetahui
tata cara pembagian waris di Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya.
D. Manfaat
Setiap penyusunan tugas, makalh,
laporan, atau karya tulis apapun sudah pasti ingi memberkikan dampak baik bagi
para pembacanya. Begitu juga dengan tugas Hukum Islam yang menganalisis tentang
tata cara pernikahan di daerah Ciamis dan pembagian waris di Kecamatan
Sodonghilir, Tasikmalaya. Berikut manfaat yang ingi penulis berikan.
1.
Menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat tentang tata cara pelaksanaan pernikahan secara
Islam, sehingga masyarakat yang awalnya tidak begitu tahun menjadi tahu.
2.
Mampu
memberikan pengetahuan tentang pembagian waris secara Islam kepada masyarakat
agar masyarakat lebih memahami hukum waris dalam Islam.
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Hasil
Observasi Pelaksanaan Pernikahan di Daerah Ciamis
Pernikahan munurut Undang-Undang tentang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.” Pernikahan adalah
bersatunya antara laki-laki dan perempuan untuk mempertahankan keturunannya dan
membentuk keluarga yang sejahtera.
Pernikahan adalah hal yang sangat
sakral, tidak bisa disepelekan, karena pernikahan menyangkut separo agama dan
tentang masa depan dari sebuah kehidupan. Menikah berarti menentukan teman
pendamping hidup, jadi tidak bisa asal pilih, harus mempertimbangkan banyak
aspek bibit, bebet, dan bobot.
Perkawinan ideal kaitnnya dengan
pendidikan, antara lain:
1.
Perkawinan
sebagai fitrah. Allah Maha Tahu apa-apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya.
Termasuk soal naluri seksual. Allah memberikan nafsu bukan semata-mata tanpa
guna, nafsu berguna saat kita menikah.
2.
Pernikahan
adalah untuk kemaslahatan umat, yaitu untuk:
a.
Memelihara
keturunan agar tidak putus.
b.
Memelihara
jenis.
c.
Menyelamatkan
masyarakat dari demoralisasi.
d.
Menyelamatkan
masyarakat dari penyakit.
e.
Memperoleh
ketenangan spiritual.
f.
Saling
menolong antara suami dan istri dalam membina anak-anak.
g.
Menumbuhkan
emosi kebapakan dan keibuan.
3.
Pernikahan
sebagai proses seleksi, mencakup:
a.
Seleksi
atas dasar agama.
b.
Pemilihan
berdasarkan keturunan dan kemuliaan.
c.
Mencari
orang asing dalam perkawinan (mengutamakan yang kekerabatan darahnya jauh,
tidak saudara dekat).
d.
Mengutamakan
gadis.
e.
Mengutamakan
menikah dengan perempuan yang banyak
melahirkan (subur.)
Adapun tentang hukum nikah itu sendiri
asalnya adalah mubah. Dan selanjutnya bisa berubah menjadi wajib, makruh,
sunnah, dan haram. Tergantung niat dan kemampuan yang dimiliki.
Pernikahan
di Daerah Ciamis
Berikut hasil observasi proses
pelaksanaan pernikahan di Daerah Ciamis. Observasi ini berdasarkan pengamatan
langsung yakni menyaksikan proses pernikahan dan wawancara kepada narasumber
yang kompeten. Observasi ini dilakukan di tiga titik, berikut hasil
observasinya.
Pertama, penulis menyaksikan lakukan
prosesi pernikahan yang pertama di Perum Kertasari Blok 5 RT 03/RW 13.
Pernikahan dilakukan dengan mengkombinasikan antara pernikahan secara adat
Sunda dan agama. Seperti yang kita tahu, pernikahan secara adat Sunda akan
terdiri dari beberapa tahap, sederhananya menggiring pengantin pria saat
menjelang akad dengan diikuti seserahan di belakang sang mempelai. Hingga
proses akad dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Saat sang calon mempelai
pria mengucapakan akad, sang mempelai perempuan sudah ada di samping pria, jadi
tidak dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini memang tidak bertentangan dengan
syariat, akan tetapi akan lebih baik jika dilakukan dengan cara memishakan
terlebih dahulu antara calom mempelai pria dengan calon mempelai wanita sebelum
akad nikah disahkan. Seperti pasangan pengantin yang kedua berikut ini.
Di Pangandaran, juga ada pernikahan
yang berlangsung secara sederhana. Pernikahan itu dilakukan secara Islam tanpa
adat. Untuk tempat duduk antara tamu undangan pria dan wanita pun dipisahkah.
Saat akad, calon mempelai pria mengucapkan akad tanpa calon mempelai wanita di
sampingnya. Barulah sesaat setelah pria selesai megucapkan akad nikah, mempelai
perempuan duduk disnadingkan dengan mempelai laki-laki.
Menurut Ustadz Totong Karyo, drH. tata
cara pelaksanan pernikahan yang memisahakan seperti ini merupakan pembelajaran,
karena tidak akan terjadi ikhtilat antar tamu undangan, dan sama-sekali tidka
mengurangi esensi dari pernikahan maupun resepsi pernikahan itu sendiri.
Ada pula pernikahan yang dilaksanan
oleh pengantin ketiga, yang bertempat di Perum Kertasari RT 03/RW 13.
Pernikahannya dilaksanakan speerti pada tipe pernikahan pasangan pengantin yang
pertama, yaitu mengkombinasikan antara adat dan Islam.
Selain kepada Ustadz Totong Karyo drH.
saya juga menanyakan perihal mengapa mempelai wanita tidak langsung
disandingkan pada saat akad dengan calon mempelai prianya kepada Ibu Ani
Rahdiani, S.Pd. . Beliau menjelaskan bahwa pada saat akan akad, mereka (calon
mempelai laki-laki dan perempuan) belum sah menjadi suami istri jadi tidak
boleh berdekatan agar tidak mengurangi makna suci sebuah janji pernikahan.
Pembagian
Waris Di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya
Waris secara bahasa adlaah pindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau
dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sedangkan menurut arti yang
sebenarnya adalah pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para
ahli warisnya yang masih hidup, baik harta yang ditinggalkannya itu berupa
harta bergerak dan tidak atau hak-hak menurut hukum syara’.
Beberapa hal yang berkaitan dengan
harta waris yakni biaya pemeliharaan mayat, biaya pelunasan hutang-hutang si
mayat, wasiat (hanya diperuntukan kepada bukan ahli waris, tidak bolehlebih
dari sepertiga harta kecuali ada hal lain), membagi sisa harta kepada ahli
waris sesuai petunjuk Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ umat.
Di Kecamatan Sodonghilir sendiri,
khususya di salah satu keluarga yang saat itu sedang membagi warisan (sang
pewaris baru saja meninggal dengan meninggalkan 3 anak kandung yang terdiri
dari seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, seorang anak tiri,
dan istri muda). Ustad Kamal, yang menjadi mediator keluarga tersebut membantu
untuk membagikan waris sesuai dengan syariat, namun pada akhirnya tidak
seutuhnya pembagian dilakukan secara hukum Islam, akan tetapi lebih kepada
pembagian secara kekeluargaan. Jalan ini ditempuh untuk mempertahankan keutuhan
keluarga dan menghindari perpecahan sesama anggota keluarga.
Di tempat lain pun demikian halnya,
pembagian warisan kebanyakan menggunakan syariat Islam dan kekeluargaan. Karena
seringkali pembagian waris dilakukan secara Islam akan tetapi harta yang telah
didapat tidak digunakan untuk kemaslahatan.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pada
umumnya pelaksanaan pernikahan dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara
adat dan syariat Islam, hal ini dikarenakan Indonesia adlaah bangsa yang
memiliki kekayaan budaya, sehingga tidka bisa lepas begitu saja dari warisan
nenek moyang. Selama adat yang ditempuh tidak bertentangan dengan akidah, maka
hal itu tidak jadi masalah.
2.
Pembagian
waris memang sebaiknya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Akan tetapi
seringkali orang membagi dengan cara Islam tetapi hartanya tidak digunakan
untuk kebaikan. Pembagian waris kebanyakan ditempuh lewat cara kekeluargaan dan
Islam, hal ini dipadukan untuk menghindari konflik antara anggota keluarga.
B. Saran
1.
Pernikahan
sebaiknya dilakukan secara terang-terangan, untuk memberi tahu kepada
khalayak bahwa dua orang telah menikah
2.
Waris
sebaiknya segera dibagikan secepatnya, untuk menghindari pengklaiman tak
bertanggungjawab di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar